Merefleksi Emansipasi Kartini
Artikel author yang dimuat di Koran Cerdas / Facebook Nurhilmiyah |
Artikel ini dimuat di Koran Cerdas UMSU edisi 28 April 2017
Tulisan
ini nyaris saja tidak saya selesaikan mengingat rutinitas pekerjaan
yang menyita waktu keseharian. Ditambah lagi dengan tugas utama saya
mendidik generasi yang saya lahirkan sendiri. Saya tertantang oleh diri
saya sendiri ketika mengingat zaman kuliah S1 dahulu, saya pernah
diminta menjadi narasumber sebuah forum diskusi di suatu elemen gerakan
eksternal kemahasiswaan di lingkungan kampus Gadjah Mada. Saya ingin
mengetes sejauh mana ingatan saya dalam menganalisis isu kesetaraan
gender yang selalu hangat dibicarakan orang menjelang atau setelah
peringatan Hari Kartini.
Ada
satu buku menarik, menimbulkan polemik, namun berkesan di hati saya.
Membiarkan Berbeda. Waktu itu saya memberikan kode “wajib beli” pada
buku ini. Tidak sekadar “wajib baca” saja. Dikarang oleh seorang
perempuan cerdas yang segera menjadi salah satu idola saya setelah saya
melahap habis isi bukunya. Pelopor pendidikan holistik berbasis karakter
yang sedang menjadi tren sekarang ini. Dia adalah Ir. Ratna Megawangi,
M.Sc., Ph.D. Profil beliau ingin sekali saya jadikan role model tapi
rasanya bagaikan pungguk merindukan bulan, antara saya dan beliau begitu
jauh perbedaannya.
Ibu
empat orang anak yang menamatkan S2 dan S3-nya di Tufts University,
Massachussets, Amerika Serikat ini justru makin teguh dengan konsepnya
memperkuat institusi keluarga pada saat ia menimba ilmu di negeri barat.
Tentunya hal ini tak lepas dari aktivitas kesehariannya sebagai dosen
Mata Kuliah Pengantar Ilmu Keluarga di Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumber Daya Keluarga di IPB.
Saya merasa beruntung mengenal beliau meski hanya dari karyanya. Karena dari pemikirannya itulah saya menemukan sudut pandang baru tentang relasi gender yang rasanya pas sekali untuk perempuan Indonesia. Tanpa perlu ‘ngotot’ meminta hak untuk total disetarakan, karena laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling bekerjasama, bukan untuk saling bersaing secara diametral, tetapi berdampingan dengan perbedaan fisik yang telah dikaruniakan Allah SWT. Kesetaraan dalam keragaman.
Saya merasa beruntung mengenal beliau meski hanya dari karyanya. Karena dari pemikirannya itulah saya menemukan sudut pandang baru tentang relasi gender yang rasanya pas sekali untuk perempuan Indonesia. Tanpa perlu ‘ngotot’ meminta hak untuk total disetarakan, karena laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling bekerjasama, bukan untuk saling bersaing secara diametral, tetapi berdampingan dengan perbedaan fisik yang telah dikaruniakan Allah SWT. Kesetaraan dalam keragaman.
Setiap
tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini. Sedari mengenyam
pendidikan dasar, para guru menceritakan sosok perempuan Indonesia yang
menjadi simbol kebangkitan semangat perubahan kaum perempuan. Kumpulan
surat-surat Kartini untuk sahabat-sahabat korespondensinya, antara lain
Rosa Abendanon dan Estella H. Zeehandelar di Belanda sungguh fenomenal,
Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat tersebut menjadi satu buku.
Diakui bahwa sedikit banyak, pemikiran Kartini dipengaruhi pemikiran
sahabat-sahabat Yahudinya itu. Namun tulisan ini tidak hendak
memfokuskan diskusi pada bahasan tersebut.
Perempuan
yang hidup setelah era Kartini merasakan efek kebangkitan spirit
dahsyat emansipasi. Pemikiran kartini mengubah mindset bahwa perempuan
yang sebelumnya hanya berkutat di tiga area “ur”-meminjam istilah
seorang ulama kondang- di sumur, di dapur dan di kasur, menjadi leluasa
berkiprah di ranah publik sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan bisa
bersekolah setinggi-tingginya, berkreativitas, bekerja di luar rumah dan
melahirkan ide-ide inovatif dari pikirannya.
Namun
sayang belakangan nilai-nilai positif yang diusung oleh Kartini ini
sedikit demi sedikit tereduksi menjadi pengertian terhadap emansipasi
yang salah kaprah oleh sebagian perempuan itu sendiri. Dengan
mengatasnamakan kaum feminis, mereka menggaungkan tuntutan yang
dinamakan kesetaraan gender sama rata sama rasa (50/50, baca: fifty
fifty).
Sepintas gerakan ini tampak baik sekali. Secara etika, moral dan
agama kita memang dianjurkan untuk membantu kaum yang lemah. Dalam hal
ini pihak yang disebut lemah, tertindas dan termarginalkan adalah
perempuan. Penerjemahannya dalam level praksis seringkali teori
feminisme mainstream yang bermula dari awal abad 20 itu dipahami secara
parsial oleh generasi muda sekarang ini. Terkadang tuntutan-tuntutan
kesetaraan gender dilontarkan tanpa pemahaman yang komprehensif, pada
akhirnya malah menjadi alat propaganda untuk mencapai tujuan politis
golongan tertentu.
Feminisme
memiliki kemiripan dengan paradigma Marxis yang selalu membenturkan
antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, si berkuasa dan si
tertindas. Marxisme melihat institusi keluarga adalah ‘musuh’ pertama
yang harus dilenyapkan jika ingin menciptakan kesetaraan gender secara
kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama berperan baik di luar
maupun di dalam rumah.
Author dan sang buah hati |
Keluarga dianggap cikal bakal dari segala ketimpangan sosial yang ada, terutama hubungan yang dirasa tidak setara antara suami dan isteri. Suami mengambil peran di ranah publik sementara sang isteri lebih banyak berjibaku dengan peran-peran pengasuhan. Feminis menganggap para perempuan perlu disadarkan akan kondisi ‘tertindas’ ini.
Sejalan
dengan bahasa dan istilah yang sering digunakan oleh paham Marxis
seperti pemberdayaan kaum tertindas, perubahan struktural atau revolusi,
penyebaran isu antikemapanan atau antikaum borjuis/patriarkal. Feminis
memberi label bahwa perempuan-perempuan yang rela meninggalkan karirnya
di luar rumah meski ia memiliki ijazah adalah korban dari indoktrinasi
stigma romantisasi peran sebagai ratu rumah tangga yang selalu
ditanamkan ke benaknya oleh kaum laki-laki, khususnya sang suami.
Di
saat yang sama, dunia membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi, bermoral baik dan tetap peduli kaum yang lemah.
Individu-individu seperti ini mustahil dilahirkan dari relasi sosial
yang tidak harmonis. Lembaga keluarga yang sehat adalah salah satu wadah
yang paling efektif untuk menciptakan pribadi-pribadi berakhlak mulia,
sebagai tempat anggotanya belajar untuk saling menghormati, membina
hubungan saling menghargai, melindungi dengan penuh kasih sayang
walaupun peran masing-masing anggotanya berbeda-beda. Yang sebaiknya
kita lakukan untuk membenahi semuanya adalah menggali potensi rasa cinta
dalam hati kita, sehingga relasi sosial yang harmonis, penuh kedamaian,
dan rasa saling menghormati itu dapat terwujud.
Kesetaraan
yang diupayakan dengan jalan kebencian terhadap si berkuasa tidak akan
membuahkan hasil secara optimal. Sesuatu yang dimulai dengan kemarahan
hanya akan mendatangkan kemarahan lagi. Itulah salah satu poin
ketidaksepakatan dengn paham Marxisme dalam hal kesetaraan gender ini.
Tak
dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan tetap memiliki
perbedaan secara kodrati. Kaum feminis bersikeras menyatakan bahwa
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan semata-mata karena produk
budaya atau konstruksi sosial yang patriarkal, bukan karena perbedaan
biologis, nature atau genetis.
Terjadi kontradiksi di negara asalnya
sendiri, Amerika Serikat, kaum feminis mendapati banyak contoh perempuan
modern yang mengidap suatu sindrom menurut Colette Dowling, yaitu
Cinderella Complex. Kondisi di saat para perempuan yang sudah bebas
mandiri, ternyata jauh di dalam lubuk hatinya masih memerlukan
perlindungan dari laki-laki. Namun para laki-laki ternyata juga telah
terbebaskan, mereka sudah tidak mau lagi memberikan perlindungan kepada
kaum perempuan. Karena dianggap sudah setara dan menjadi saingan mereka.
Akhirnya
suka atau tidak suka tuduhan penyebab kondisi tersebut berbalik,
menjadi bumerang, kembali mengarah kepada paham feminisme, kesalahan
ditujukan pada kaum feminis. Pertanggungjawaban dimintakan kepada
pengusung kesetaraan gender yang benar-benar ingin setara tanpa
menyadari bahwa secara alamiah perempuan dan laki-laki memang diciptakan
berbeda untuk saling mengisi dan saling melengkapi.
Saya
sepakat dengan sudut pandang yang arif untuk membenahi carut marut
definisi kesetaraan gender menurut Ratna Megawangi, yaitu memandangnya
sebagai relasi yang komplementer. Walaupun perempuan dan laki-laki
memiliki peran yang berbeda namun bersatu dalam mencapai tujuan yang
sama. Meredefinisikan pengertian kesetaraan gender, mengakui bahwa
memang ada perbedaan alamiah antara perempuan dan laki-laki, yaitu
melalui konsep kesetaraan dalam keragaman.
So, masih ingin ngotot benar-benar setara?
*Penulis adalah peminat kajian hukum dan sosial, dosen Fakultas Hukum UMSU, anggota Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UMSU
23 comments
Yang paling penting saling memahami, menghargai, dan menghormati peran dan tanggung jawab antara wanita (istri) dan pria (suami).
ReplyDeleteWah, Ibu Ratna Megawangi itu dosen saya di supporting course IPB dulu mba. Jadi ceritanya saya emang S1 Kehutanan, tapi saya tertarik untuk mendalami pendidikan karakter dan pendidikan keluarga. Saya sengaja ambil jatah 6 SKS di luar kejuruan utama saya. Saya putuskan ambil 2 mata kuliah di Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Kebetulan Ibu Rata Megawangi dosennya. Setiap kuliah dengan beliau, kelas selalu penuhhhhh. Agaknya banyak yg tertarik dengan pemaparannya. Makanya sampai sekarang saya juga hobi sekali nulis semua tentang parenting dan keluarga, terinspirasi dari beliau. Hihihi.
ReplyDeleteSaya kebetulan membaca buku tebal Habis Gelap Terbitlah Terang, dan buku itu sangat indah dan berisi. Terkait isi, sebenarnya akan muncul perdebatan panjang soal feminisme, karena feminisme sendiri ada aliran-alirannya. kalau yang kakak referensikan di sini feminis garis keras itu. Hehe
ReplyDeleteFaham para feminisme yg terkadang bablas ya kak miia hihihi.
ReplyDeleteAku salut sama orang misalkan kaya kak mia, dosen, blogger tapi keluarga tetap diutamakan karena mengerti. tapi jika melihat para ibu yg sibuk di luar tanpa memikirkan anak-anaknya, istilahnya hanya memberi materi, itu yg kadang buat aku sebel.
Gak mau ah..
ReplyDeleteJelas-jelas wanita derajatnya ditinggikan dalam Islam sebagaimana nabi Muhammad menyebut kaum ibu 3 x dibanding ayah .
Perempuan dijaga, ditinggikan, jangan mau disamakan.. hehehe..
Laki-laki dan perempuan tidak dapat disetarakan di beberapa hal, apalagi yang terkait kodrat. Yang lebih cocok ya berdampingan, terutama dalam membentuk keluarga yang baik. Serem juga denger Cinderella complex, dimana laki-laki merasa tidak perlu melindungi perempuan lagi karena dianggap saingan.
ReplyDeleteSetuju banget dengan pernyataan ini <> Kita memang memiliki kodrat yang berbeda. Tapi bisa saling melengkapi untuk tujuan yang sama
ReplyDeletemateri yang bagus buat saya baca nih mba. wanita dan pria bisa sama-sama mencapai tujuan yang sama
ReplyDeleteWanita mandiri, mapan memang impian semua orang. Tapi untuk sampai dititik ini berapa waktu yang dihabiskan? Berapa banyak airmata, kesepian dan kekalutan. Merendah sedikit nggak papa menjadi sosok yang melengkapi saja lebih mudah dan lebih membahagiakan daripada pura-pura kuat
ReplyDeleteSebenarnya jika kita balik ke aturan agama semua akan baik-baik saja. saya kira itu selaras dengan yang digaungkan kartini. Sama dalam pendidikan, dan berbagai hal lain. Cuma ada hal-hal yang tidak bisa diubah antara perempuan dan laki-laki.
ReplyDeleteBener-bener setara banget ya engga mungkin sih. Aku sih lebih cocok berbagi peran. Jadi kalau dalam keluarga, saling bahu membahu, berat ringan sama dijinjing. Engga ada, ini kerjaan perempuan (di dapur), laki engga boleh masuk. Ya sama-sama aja saling membantu, engga masalah.
ReplyDeleteKesetaraan gender itu bukan berarti semuanya sama. Tetapi bisa saling mengisi tanpa perlu membandingkan ini pekerjaan perempuan atau laki-laki. Itu menurut apa pemahaman saya sih, mba dan.
ReplyDeleteSo masih mau ngotot-ngotot?
ReplyDeleteKalau motor mogok jangan mintak didorong, kalau galon habes jangan minta diangkatin.
Keren Mbak, bukan kesetaraan yang dibutuhkan, tapi diistimewakan. Hehehehehehehe
#ngelunjiaak
Setara itu ga harus sama, tetapi sesuai dengan kemampuannya. pokoknyamah saling mengisi aja hehe
ReplyDeleteSetara ,ya ga semuanya sie kak, perempuan katanya kalau terlalu mandiri banget malah ada beberapa cowo yg minder, mungkin berbagi dan bisa melengkapi satu sama lain
ReplyDeleteSaya masih bingung dengan kata setara gender. Maaf dalam Al-Quran pun sudah tertulis bahwa Perempuan tinggi derajatnya dari laki-laki.
ReplyDeleteSaya sepakat dengan Mbak Mia soal feminisme, konon katanya mereka menentang patriarki, tapi terlalu menuntut kebebasan. Paham-paham feminis itu bisa secara tidak disadari mengendap di pemikiran perempuan zaman ini, khususnya perempuan muslimah. Padahal Islam sudah mengatur sebaik mungkin ukuran kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan sebagai seorang penganut agama Islam sah-sah saja jika menjadikan konsep itu sebagai pedoman utama.
ReplyDeleteLaki dan perempuan menurutku tetap dgn kodrat masing2 dan ga bisa disetarakan. Bukan berarti wanita gak bisa merdeka dan mandiri juga..
ReplyDeleteMenjadi fleksibel menurutku lbh baik
Apakah bisa terjadi kesetaraan antara laki dan perempuan.
ReplyDeleteMenurutku bisa namun tidak baik, dalam istilah Jawa (kalau tidak salah) ada yg mengatakan sepikul segendongan.
Di zaman modern ini, banyak perempuan hebat yang saya kenal. Salah satunya dari profesi blogger. Dari rutinitasnya, ia banyak menghasilkan karya luar biasa yang bermanfaat bagi semua orang, disamping membantu perekonomian keluarga. Aliasnya di zaman modern ini, potensi untuk maju lebih besar bagi kaum perempuan
ReplyDeleteMemang sekarang banyak yang salah kaprah dalam mengartikan kesetaraan gender, sama disini bukan berarti benar-benar harus persis sama. Laki-laki dan perempuan tentu berbeda dan kesetaraan gender yang diusung Kartini itu bukan berarti laki-laki dan perempuan harus melakukan hal yang sama, kesetaraan gender disini artinya adalah masing-masing salah respek terhadap tanggungjawab masing-masing dan tidak ada hak yang dibatasi
ReplyDeleteKesetaraan gender memang tak bisa dimaknai secara harfiah ya. Dan emansipasi wanita yang diusung RA Kartini juga bukan mengubah perempuan jadi manusia tak berdaya, atau sebaliknya menjadi superior dan berkuasa. Harusnya sih saling memahami saja peran masing-masing, baik di dalam keluarga dan masyarakat. Dan semuanya bisa dijembatani dengan komunikasi kan, ya?
ReplyDeleteKesetaraan gender tak bisa diartikan secara harfiah sih karena antara lelaki dan perempuan punya peran masing-masing ya. Dalam kehidupan berumah tangga atau di dunia kerja juga sama. Tak bisa main sama rata karena di tiap kondisi perlu disesuaikan pula peran masing-masing
ReplyDeletePesan dimoderasi. Terima kasih telah berkomentar. "You are what you comment"