Vonis Sandal Jepit Ditinjau dari Sudut Pandang Sosiologi Hukum

Ilustrasi kasus sandal jepit / A. Sudrajat


Dimuat di Harian Realitas, 10 Januari 2012

Dunia hukum kembali dihebohkan dengan munculnya perkara sandal jepit dari Palu, Sulawesi Tengah.  AAL (inisial dari nama sebenarnya) seorang anak laki-laki berumur 15 tahun dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap (ARH). Sandal itu terletak begitu saja di suatu jalan, terpisah antara yang kanan dan kirinya. Menurut pengakuan pemiliknya sandal jepit itu bermerk Eiger, sementara fakta di persidangan sandal jepit yang dicuri adalah merk Ando, sudah butut pula. 

          Meski tidak terbukti sebagai pencurinya, AAL tetap divonis bersalah karena memenuhi unsur Pasal 362 KUHP, mengambil barang yang bukan miliknya/milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki. Berdasarkan putusan pengadilan itu pula  hakim memerintahkan agar AAL dikembalikan ke orang tuanya sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan didenda untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2 ribu rupiah.

            Mahkamah Agung menganggap putusan hakim Pengadilan Negeri Palu itu adalah putusan yang bijak. Tidak ada yang salah dengan putusan itu. Dibandingkan dengan tuntutan jaksa yang menuntut AAL dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun. Namun predikat AAL sebagai si pencuri sandal seumur hidup tidak akan hilang. Beban psikologis yang ditanggungnya menjadi sangat berat. Menurut Teori Labelling dari Lemert dalam psikologi perkembangan anak, seorang anak jika mendapat cap seorang maling maka lama kelamaan ia akan menyesuaikan keadaan dirinya menjadi seperti apa yang dilabelkan orang kepadanya. Tentu ini tidak baik untuk usia AAL yang masih dalam proses pencarian identitas diri. 

            Berdasarkan pertimbangan itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengambil sikap melaporkan hakim yang mengadili perkara AAL untuk diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY) karena dianggap penuh dengan kejanggalan. Pertama, perbedaan barang bukti. Barang bukti yang dihadirkan di persidangan tidak sama dengan yang diakui oleh pemiliknya, Briptu ARH. Yang dijadikan bukti di depan hakim adalah sandal jepit milik Ando, sedangkan Briptu ARH mengakui bahwa sandal jepit miliknya adalah merk Eiger. 

            Hakim menyatakan bahwa barang bukti asli tidak diketahui pemiliknya dan sudah dimusnahkan oleh negara.  Menurut penasehat hukum AAL, hal ini mengada-ada dan kontroversial. Kalau tidak ada bukti pencurian, lalu hakim memvonis berdasarkan bukti apa? mengapa masih diputus bersalah? Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan penasehat hukum AAL mengajukan banding.

            Menarik untuk dikaji adalah ketika perkara seperti ini lagi-lagi mengusik rasa keadilan masyarakat. Pada umumnya ahli hukum sependapat dengan Gustav Radbruch, membagi 3 (tiga) nilai idealitas yang harus dikandung hukum, dengan kata lain bahwa hukum yang dinilai ideal dan perfect   (sempurna) jika memenuhi 3 (tiga) syarat sekaligus fungsi. Pertama kepastian hukum, kedua keadilan dan yang ketiga kemanfaatan. Hakim sebagai pembentuk hukum dalam hal ini telah mengkonstruksi suatu hukum. Jelas maksud hakim dalam perkara sandal jepit ini adalah untuk menegakkan kepastian hukum, namun jika dipandang dari kaca mata sosiologi hukum, alangkah arifnya apabila hakim juga memperhatikan rasa keadilan masyarakat. 

Keprihatinan massa buat AAL / Okezone

         Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengakomodasi dengan terang benderang dalam Pasal 5 berikut penjelasannya mengenai rasa keadilan masyarakat. Dalam memutus suatu perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

            Sekilas putusan hakim itu terdengar bijaksana, mengembalikan AAL kepada orang tuanya. Namun jika dicermati lebih jauh, sebenarnya hakim memutus demikian semata-mata hanyalah karena menegakkan Undang-Undang Pengadilan Anak. Menurut Pasal 24 tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah, diantaranya mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh.

            Hal ini lagi-lagi membuktikan sarjana hukum kita, khususnya hakim masih menganut paham positivisme dalam mengambil suatu putusan. Positivisme adalah salah satu aliran pemikiran hukum klasik yang memandang persoalan hukum itu secara eksklusif, tegas, kaku, dan mengedepankan sisi legal formalnya. Sehingga dapatlah dikatakan cara memandang perkara hukum itu legalistik formalistik. Hukum dillihat dengan kaca mata kuda. Ketika ada suatu perkara maka secepat kilat dicari dasar hukumnya, kemudian diterapkan. Hakim tak lebih sebagai corong undang-undang seperti hakim zaman Belanda. Seperti itulah model hakim civil law. Padahal di abad 21 ini Indonesia tak lagi murni menganut sistem hukum seperti yang dianut negara-negara Eropa Kontinental. Segala sesuatunya mencair seiring pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. 

             Andai saja hukum dipandang dari lensa yang berbeda, dari sudut sosiologi hukum, maka persoalan sandal jepit tidak akan sampai ke pengadilan. Tidak akan diberitakan BBC dan CNN. Penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tidak lagi menjadi favorit kita bangsa Indonesia. Wajah hukum tidaklah menyeramkan seperti yang digambarkan oleh aliran positivisme, ia juga bisa hadir lembut jika sedikit mengandung nilai keadilan dan kemanfaatan. Tak perlu jauh-jauh mencari nilai-nilai ini, ia dekat karena selalu berada di sekeliling kita. Nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat kita. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah para sarjana hukum kita mau menerapkannya dalam penyelesaian-penyelesaian masalah hukum?



           

32 comments

  1. Saya nggak mampu membayangkannya.. masalah sepele dibesar-besarkan. Minimal All diminta untuk minta maaf saja. Tidak perlu sampel pengadilan begitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah sebagian tipikal masyarakat kita, sedikit2 main lapor saja dan aparat hukum juga langsung main proses saja

      Delete
  2. Hukum di Indonesia emang begitu tajam ke bawah tumpul ke atas. Hehehe. Nambah lagi deh contoh kasus yg bikin miris dan mematikan nilai-nilai kemanusiaan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mestinya kl sudah berasaskan Pancasila, kemanusiaan yg adil dan beradab, gak begitu kan Ni... faktanya malah kayak negara liberal, main adukan saja

      Delete
  3. Briptu Ahmad Rusdi Harahap (ARH) juga harus diproses, dong, bukan hakimnya saja. Juga semua yang berhubungan.
    Masa sandal jepit, bahkan merk saja beda penyebutannya kok diproses. Di mana nurani mereka? Baru dituding mencuri saja sudah bikin AAAL dapat sangsi masyarakat kok, malah disidang. Asli gemes, saya bacanya.
    Saya pikir ini fiksi.
    Ada apa dengan penegak hukum negeri ini. Kenapa selalu pakai kacamata kuda begitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makanya aparat hukum mesti meninjau hukum itu dari sudut pandang sosiologi hukum seperti yang saya tulis, Mbak.. hehe

      Delete
  4. Aneh memang persidangan itu, barang bukti di persidangan sudah jelas berbeda. Tapi tetap saja hakimnya memvonis bersalah. Lalu itu si polisi yang jadi pelapor. Kok bisa tega amat, sampai bawa kasus seperti itu ke ranah hukum ya. Apalagi lawanya cuma anak-anak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emosi juga kali ya Bang... sandal kesayangannya mungkin tuh, dicuri orang haha

      Delete
  5. Ya, Allah. Padahal ini kasusnya masih abu-abu ya, Mbak. Misalnya dibilang sandalnya merek Eiger, ternyata Ando. Apalagi ini kan sandal butut, dan tergeletak di suatu jalan.
    Seharusnya dicari jalan damai saja lewat kekeluargaan. Usia 15 masih masa transisi. Kalau pun dia mengambil sandal (misalnya), ini iseng doang. kalau pun mau mengambil sandal, kenapa mengambil sandal yang butut?

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha... nanggung mencurinya gitu ya Mas? Mbok sekalian ambil sandal yang di toko saja...

      Delete
  6. Jadi inget sandal jepit saya yang hilang. Saya tinggal di komplek one gate dengan konsep perumahan tanpa pager. Jadi kalo pulang dari pasar, sendal yang kotor saya letakan saja di teras .Nah suatu hari saya temukan sendal jepit saya yg udah tidak baru lagi itu sudah hilang,berganti sepasang sendal jepit yang lebih butut dan putus talinya. Bukanya sok baek yak, tapi saya relakan dan berdoa semoga orang itu diberikan rezki yang berlimpah ruah sehingga mampu beli sendal yang kuat dan tahan lama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang ada tipikal orang yang suka nuker2 sandal ya Yuk Dona, ahaha

      Delete
  7. Menarik sekali membahas labelling ini kak Mia. Kemarin di grup tentang SSA, dibahas pula tentang orang-orang yang masa kecilnya sering dipanggil "bencong" maka besarnya akan mengalami semacam kenyataan dari label orang tersebut.

    Kalo di Islam ini biasa disebut sebagai ucapan adalah doa.
    Kak Mia, tau gak tetangga orangtuaku ada yang mati dibunuh saat jadi waria. Masa kecilnya memang sering diejek bencong oleh temannya. Alhamdulillah aku gak ikut-ikutan. Jadi gak ada perasaan bersalah dengan kabar ini. Namun hanya ada perasaan "ya Allah.. kenapa dia harus mati suul khatimah, padahal dia berbuat baik pada ibunya.."
    Aku gak kuat kak membayangkan hal-hal kayak gitu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huwaaa... hikss... tragedi ya... gegara persoalan labelling jadi maut ujung2nya... kawan di suatu masa dulu ada yang kemayu, krn gantengnya maksimal, bersih n tertib bawaannya gak kayak anak cowok lain. Ya gitu juga asik diejek2 bencong, lama2 kbrnya dia beneran gay, meninggal di usia 30 karena sakit. Gak taulah skt apa. Astaghfirullahal 'Azhimm

      Delete
  8. Saya setuju hukum harus ditegakan, tapi juga harus adil sesuai dengan hakikatnya hukum itu.
    Semoga ke depannya hukum di negara kita ini bakalan lebih baik lagi, optimis saja agar bisa seperti itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin... Harus tetap semangat dan optimis Mbak

      Delete
  9. Nyesek bacanya...Semestinya penyelesaian secara kekeluargaan lebih diutamakan. Setuju harusnya dari sisi sosiologi hukum, persoalan sandal jepit seperti ini tidak perlu sampai ke pengadilan. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menghukum itu tujuanna utk membuat jera tp hrs lihat² juga siapa dan mengapa nya ya Mbak

      Delete
  10. ah ya ingingat kasus ini..

    banyak juga kasus lain ya, mbak..yg nenek2 ambil kayu bakar dituntut, kasus pencurian coklat, atau yg terakhir soal pelajar yg dianggap melakukan pembunuhan berencana. membingungkan kalangan awam..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yupyup.. Nenek Rasminah mencuri 6 buah piring dr rumah majikannya... Gak taunya itu piring dikasih. Majikannya lupa kali yaa

      Delete
  11. Betul Mba, kadang aku melihat kesannya jadi subjektifitas. Bukan atas hal yang lainnya atau bisa jadi tekanan pihak lain.

    ReplyDelete
  12. Bener Mbak,, ndak sepadan dg akibat yg diterima

    ReplyDelete
  13. Astaga sedih kalau ada kasus2 kyk gtu. Di sini emang kyknya msh tebang pilih, Itu anak pejabat atau org terkenal misal nabrak org atau mungkin terlibat kejahatan apapun seringnya sih lolos gak dipenjara lama2, begitu giliran yg anak org biasa seringnya kena. Koruptor susah nangkap susah disidang, sementara rakyat miskin yang mungkin cuma kroco menderta kalau ketangkap :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tantangan menjadikan hukum sebagai panglima ya begitu dehh Mba April

      Delete
  14. Wah, iya aku ngerasa sih, harusnya ada rasa keadilan masuk dalam aspek dalam menjatuhkan vonis. Cuman ya gitu, di Indonesia masih banyak yang tumpul keatas

    ReplyDelete
  15. Semoga Allah membukakan hati kepada yang berwenang..
    Sebenarnya kasus ini cukup kekeluargaan saja.. Pembelajaran berharga

    ReplyDelete
  16. Keadilan oh keadilan...Semoga hati dan pikiran mereka yang berwenang di atas sana dibukakan oleh Allah SWT, agar dapat berlaku dengan seadil-adilnya. Gemes euy bacanya

    ReplyDelete
  17. Aamiin... keadilan utk wong cilik ya

    ReplyDelete
  18. Nah.. Barbuk aja katanya dibakar, jd ndak bisa ditunjukin.
    Berati gada barang bukti dunk.
    Aneh juga AAL tetep kena vonis.

    ReplyDelete

Pesan dimoderasi. Terima kasih telah berkomentar. "You are what you comment"