Ketika Honor Mediator Dianggap Horor
Plang nama ruang mediasi di suatu pengadilan / Detik |
Dimuat di Harian Metro Asahan, 10 Agustus 2012
Diskusi bersama rekan sejawat saya sesama dosen di Fakultas Hukum
Universitas Asahan mengenai peran mediator non hakim di pengadilan cukup
serius. Saya terkejut seakan tak percaya mendengar penuturan rekan
tersebut yang juga berprofesi sebagai mediator di suatu pengadilan di
Kabupaten Asahan ini. Katanya, ia “disidang” oleh beberapa orang hakim
di satu ruangan terkait dengan terlalu besarnya honorarium sebagai
mediator yang dimintanya dari para pihak yang berperkara.
Akhirnya forum itu memutuskan agar ia sebagai mediator hanya
diperbolehkan mengambil honor sebesar Rp.50.000 dari setiap perkara.
Pertimbangannya karena Rp. 500.000,- yang dimintanya kepada para pihak
dirasa memberatkan apalagi hakimlah yang memiliki kewenangan
memerintahkan agar perkara tersebut menjalani mediasi. Dengan kalimat
sederhana, hakim tersebut ingin mengatakan bahwa, ”kan saya yang
menyuruh perkara ini dimediasi” Jadi mau tak mau mediator wajib turut
kepada perintah Ketua Pengadilan kalau masih mau jadi mediator di kantor
ini. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (6) Perma No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma 1/08)
yang menyebutkan: Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan
memperbarui daftar mediator.
Dari segi para pihak yang tidak mampu itu, keputusan “forum” tersebut
merupakan angin segar yang menyenangkan. Karena para pihak tidak perlu
lagi mengeluarkan uang sebanyak yang diminta mediator. Bahkan cukup
menunjuk mediator hakim saja, tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun.
Karena menurut Pasal 10 Perma 1/08, ayat (1) Penggunaan jasa mediator
hakim tidak dipungut biaya. Tapi apakah benar demikian, jika orang sudah
berhubungan dengan birokrasi di pengadilan?
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan
beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada pengadilan, antara lain:
lambatnya penyelesaian sengketa (waste the time) hal ini terjadi akibat
sistem pemeriksaannya yang sangat formalisitis (very formalistic) dan
juga sangat teknis (very technical).
Selain itu yang tak kalah penting,
mahalnya biaya perkara, dan biaya ini akan semakin mahal pula apabila
waktunya semakin lama.
Ali Budiarjo dkk dalam bukunya Reformasi Hukum Di Indonesia merilis
hasil penelitian selama bertahun-tahun di pengadilan Indonesia. Dalam
proses dibawanya perkara ke pengadilan, biaya “tidak resmi” (atau “tidak
biasa”) dapat dijumpai, yang dikenakan oleh pihak tertentu selaku
“penjual jasa hukum". Sebagai suatu contoh, bahkan walaupun secara
matematis biaya sebuah putusan yang dibebankan pada pihak yang
bersengketa adalah Rp. 15.000, pengalaman menunjukkan bahwa putusan
tersebut tidak akan dikerjakan atau segera diserahkan oleh panitera bila
yang dibayar adalah hanya jumlah yang resmi.
Mediator Hakim sedang berupa mendamaikan para pihak / Facebook Ummu Hafayum |
Dari sudut pandang mediator tentu saja penentuan secara sepihak besaran
honorarium mediator nonhakim sangatlah tidak adil dan cenderung
bersifat subyektif. Pasal 10 ayat (2) Perma 1/08, menyatakan dengan
jelas bahwa: Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para
pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Jadi penetapan
honorarium mediator secara satu pihak oleh Ketua Pengadilan merupakan
tindakan yang tidak sesuai dengan pesan yang diamanatkan Perma 1/08. Hal
ini sama dengan mengebiri, meremehkan dan mengecilkan peran mediator
non hakim di pengadilan. Mediasi wajib dilaksanakan karena perintah dari
peraturan.
Pasal 2 ayat (3) menegaskan, tidak menempuh prosedur mediasi
berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
Keberadaan seorang mediator non hakim sebagai mediator mandiri sangatlah
penting. Pasal 5 ayat (2) Perma 1/08 menyebutkan: Jika dalam wilayah
sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi
bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan
yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. Jadi mediator
non hakim bukanlah “orang luar” yang dirasakan asing kehadirannya
melainkan mitra kerja hakim sebagai pihak netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan
sebuah penyelesaian (Pasal 1 ayat (6) Perma 1/08).
Dapat dikatakan mediator non hakim dan hakim itu sama tingkatannya atau
satu level. Bukan seperti pegawai administrasi ataupun makelar kasus
yang dapat dijumpai di pengadilan sebagaimana hasil penelitian Ali
Budiarjo dkk. Mediator berhasil membantu para pihak keluar dari proses
peradilan yang panjang dan berbelit-belit jika perkara yang ditanganinya
berakhir dengan damai. Layakkah Rp. 50.000,- diberikan untuk pendamai
yang sukses memangkas proses dan tahap-tahap litigasi yang demikian
menjenuhkan? Kalau memang hal itu sudah menjadi kesepakatan para pihak,
sah-sah saja. Tapi faktanya, bukan para pihak tersebut yang
menetapkannya.
Para pihak yang bersengketa memiliki hak untuk menentukan mediator yang
akan menangani perkaranya.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perma tersebut
di atas, Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan
berikut: (a) hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan, (b). advokat atau akademisi hukum, (c). profesi bukan
hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok
sengketa, (d). hakim majelis pemeriksa perkara, (e). gabungan antara
mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d,
atau gabungan butir c dan d.
Dari segi peraturan perundang-undangan, sudah sepantasnyalah hakim
selaku pejabat di pengadilan, mematuhi Perma yang telah ditetapkan
Mahkamah Agung (MA).
Perma 1/08 harusnya benar-benar dijadikan landasan
formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di
pengadilan tingkat pertama dalam mendamaikan para pihak yang berperkara.
Beberapa hasil penelitian, termasuk penelitian empiris tesis penulis,
sebagian besar hakim masih menganggap proses mediasi dalam suatu
pengadilan hanyalah formalitas semata. Belum ada kesungguhan dari para
hakim untuk menekan laju derasnya jumlah perkara yang diproses di
pengadilan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan poin konsiderans
yang mengandung paradigma sosiologis yang melatarbelakangi hadirnya
Perma terbaru ini. Mungkin saja nasib Perma 1/08 ini sama dengan nasib
perma sebelumnya, yaitu Perma No. 2 Tahun 2003. Atau setali tiga uang
dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks
Pasal 130 HIR).
Kedua peraturan produk MA tersebut menemui kegagalannya
karena berbagai faktor. Antara lain disebabkan hanya dianggap formalitas
semata.
Sangat disayangkan apabila terlontar dari mulut seorang wakil Tuhan
(baca:hakim), kalau bisa mediasi cepat-cepat saja, jangan lama-lama,
satu hari langsung ada hasilnya. Padahal dengan sangat jelas bahwa Perma
terbaru memberikan waktu lebih lama dari Perma 2003. Dari 30 hari kerja
menjadi 40 hari kerja plus perpanjangan waktu atas kesepakatan para
pihak paling lama 14 hari sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut.
(Pasal 13 ayat (3 dan 4) Perma 1/08.
Menyelesaikan perkara bukanlah persoalan ketok palu saja. Mendamaikan
sengketa memiliki seni tersendiri. Mediator harus mampu menransfer
ketrampilan perundingan kepada para pihak melalui saran dan nasehat
tentang perundingan (interest based). Mediator memimpin dan mengarahkan
pertemuan perundingan sesuai agenda, selalu mengingatkan bahwa para
pihaklah yang mencari penyelesaian bukan mediator. Mediator hanya
membantu para pihak menyelesaikan perkaranya dan menentukan siapa yang
berbicara lebih dulu dan siapa kemudian. Mediator harus mampu menahan
emosinya sendiri ketika menghadapi emosi salah satu pihak.
Alhamdulillah, kedua pihak menemui perdamaian / Facebook Ummu Hafayum |
Demikianlah
sebagian kecil dari ketrampilan yang dimiliki seorang mediator.
Maka alangkah sempitnya wawasan berpikir orang yang dianggap paham hukum
apabila menentukan besaran harga bagi jasa seorang mediator non hakim
yang berhasil mendamaikan perkara yang ditanganinya. Tentu saja hal itu
bukanlah tugas pokok dan fungsi seorang ketua pengadilan. Ada baiknya
diserahkan saja secara otonom kepada para pihak yang bersengketa
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2) Perma 1/08.
Bagi rekan sejawat yang sudah berpredikat sebagai mediator
bersertifikat, saya sarankan jangan menyerah dan pantang mundur
menghadapi marginalisasi eksistensi mediator non hakim di pengadilan.
Dengan catatan, mohon diperhatikan juga kemampuan finansial para pihak
sehingga bisa diperoleh jumlah honorarium yang layak dan disepakati,
sehingga semua pihak sama-sama memperoleh win-win solution. Agar honor
mediator tak dianggap horor.
Nurhilmiyah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan, Penulis Tesis “Mediasi Di
Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No, 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan”
30 comments
Benar juga ya mbak. Misalnya orang mau cerai bisa rujuk kembali. Itu harta yang paling berharga dan sayang sekali jika mediator hanya diberikan sedikit saja penghargaan atas keberhasilannya. By phone syam
ReplyDeleteKalau ruju' beda lagi hukum acaranya Mbak. Ini blm sampai cerai, berusaha dimediasi
DeleteKak Mia, 50 ribu itu untuk semua kasus perdata ya kak?
ReplyDeleteKalo mediator pengadilan agama gimana kak? Sama kah nasibnya?
Kepo juga ini..
DeleteTapi bagus jugavya disesuaikan dengan kemampuan yang dimediasi.
Tapi saya sndr memang kurang paham mengenai detail hukum ini
Icha: perkara perceraian itu juga termasuk perkara perdata. Iya 50k utk 1 perkara. Ada banyak mediator pula. Kira² 5 perkaralah/org.
DeleteVivi: harus paham dong, kan hukum negerinya sendiri wkwk... Mn tau ada sodara yg mau dimediasi, kl ada yg minta di luar kewajaran kan kak vivi udah tau honornya wkwk
Mungkin bagi yg bermasalah senang banget ya kak 50ribu, tapi bagi mediator nya yaaampun kok lebih gede fee blogger receh
ReplyDeleteAstaghfirullah
Kok julid 🙈😂
Kali berapa perkara dalam sehari dalam sebulan, mgkin gitu Na... Padahal kerja mendamaikan org itu gak gampil ya kann
DeleteAku masih belum paham nih dengan istilah mediator. Apakah ini pihak yang menjadi perantara damai saat proses persidangan masih dalam tahap mediasi. Begitu, ya? Masih asing banget soalnya istilah-istilah hukum ini buatku. Itu tarif Rp 50.000 apakah umumnya segitu atau tergantung lokasi atau kotanya, sih? Haduh, minim banget, ya.
ReplyDeleteJadi bagi pihak yg mau cerai misalnya, mbak... Wajib menjalani proses mediasi dl br lanjut ke step berikutnya mbak. Ini utk mencegah perkara numpuk di pusat
DeleteJadi mediator non hakim tugasnya baik ya mbak. Apa lagi kalau klien nya bisa damai. Mulia banget itu mbak. Semoga fee jada mediatornya bisa otonom mengacu pada pasal 10 ayat (2) Perma 1/08.
ReplyDeleteAamiin, semoga dpt fee yg adil yaa para mediatornya
DeleteIni kok kecil sekali honor mediator..Apa tidak ada aturan baku untuk besaran honornya, Mbak Mia? Terus ini kan artikel tahun 2012, bagaimana updatenya sekarang?
ReplyDeleteUpdatenya ada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Mbak... Cm ya itu gak mengatur soal besaran honor. Setau saya sampai kini msh 50k. Cm ya kali banyak, kali sering ya... Ups jualan x
DeleteHonorarium mediator nonhakim cuma 50 ribu perak itu benar-benar gak adil. Saya juga baru tahu ini Mba Mia. Apakah ini berlaku nasional artinya di seluruh pengadilan di Indonesia? Duh, prihatin saya.
ReplyDeleteIyes Mbak,, 50k di seluruh Indonesia
DeleteMemang perlu diperhatikan komampuan finansial pihak yang bersengketa karena bisa jadi mereka sudah habis-habisan dan tak menyangka ada lagi biaya mediasi yang besar.
ReplyDeleteNah, ini dr sudut pandang para pihaknya x ya Mbak hehe
DeleteTanggung jawab mediator yang cukup besar membuat nilai 50 ribu rupiah per perkara dianggap terlalu kecil. Namun harus dipikirkan juga kondisi keuangan pihak2 yang akan dimediasi. Banyak faktor yang dapat menjadi pertimbangan besaran honor mediasi agar dapat adil bagi berbagai pihak.
ReplyDeleteBs jg mediator dpt lebih banyak,, kebetulan para pihaknya berkemampuan alias horang kayahhh ahaha
DeleteJadi penetapan honorarium mediator secara satu pihak oleh Ketua Pengadilan merupakan tindakan yang tidak sesuai ya mba, terus apakah pihak mediator bisa menolak keputusan itu?
ReplyDeleteMungkin maksud ketua utk menjaga ketertiban
DeleteIni membuat bimbang ya, Mbak Mia. Di sisi lain, kalau biaya mediasi misalnya 500 ribu, ya pasti yang punya perkara kesulitan juga ya, apalagi kalau itu kurang mampu. Tapi kalau 50 ribu juga, kasihan mediatornya.
ReplyDeleteBensin ke lokasinya itu nombok x ya Mas.
DeleteHehe
Loh loh,aku baru tau deh beneran kak, mediator ini seperti apa dan begitu ,diharga segitu juga,tetap semangat teman2
ReplyDeleteSy sih gak mediator , Ut. Gak sempat lagi walaupun bs kl memenuhi persyaratannya. Kampus dan keluarga plus nulis² rasanya udah segalanya hehe
DeleteSama kayak kak Uut aku juga baru mengerti tentang peran mediator dalam satu perkara. Nampaknya perlu disosialisasikan agar masyarakat yang berperkara memahami dan dapat memanfaatkan peran mediator dalam menyelesaikan perkara mereka
ReplyDelete6 thn berlalu tp msh banyak juga yaa masyarakath yg blm tau tg mediator ini
DeleteSaya pernah kepengadilan sekali dan menjadi saksi dan melihat ruangannya bikin maupun para hakimnya malah bikin saya ketakutan ya, nah ini yang harus dicontoh sebagai mediator yang bersih dan semangat
ReplyDeleteMakanya diusahaka sebisa mungkin perkara gak lanjut ke tahap berikutnya mbak. Damai di mediator aja
ReplyDeletePadahal jasa dan pekerjaannya juga penting ya, tapi dari segi oenghargaan terhadap honornya masih minim. Saya sendiri baru tahu tentang mediator ini
ReplyDeletePesan dimoderasi. Terima kasih telah berkomentar. "You are what you comment"