Catatan Ide dan Inspirasi
  • Home
  • Catatan
  • Ide
  • Inspirasi
  • Contact
catatan ide dan inspirasi
Yuridis.id


Artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum De Lega Lata (Terindeks SINTA 3) Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2019


Perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender. (Perma No. 3 Tahun 2017)


Sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) Indonesia mengakui kewajiban  negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi  dalam sistem peradilan. 


Berdasarkan pertimbangan peraturan perundang-undangan yang telah terlebih dahulu ada, maka Mahkamah Agung perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Tentunya menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum sebelum dan sesudah lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017?



catatatn ide dan inspirasi
Perempuan menjadi Tersangka/Batamtoday
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sebelum Lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017
Menurut Pasal 1 PERMA No. 3 Tahun 2017,  perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum. Ada 3 (tiga) pihak perempuan yang berkonflik dengan hukum tersebut:

1.      Perempuan sebagai korban

2.      Perempuan sebagai saksi

3.      Perempuan sebagai pihak

Pasal 2 PERMA memuat asas yang mestinya ditaati hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Asas-asas tersebut adalah, asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia; asas non diskriminasi; asas kesetaraan gender; asas persamaan di depan hukum; asas keadilan; asas kemanfaatan; dan asas kepastian hukum.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bella Sandiata dalam Jurnal Perempuan yang berjudul Perempuan Berhadapan dengan Hukum: Refleksi Penggunaan Pasal 284 dan 285 KUHP dalam Pengalaman Pendamping Hukum. 

Pendamping sendiri berarti seseorang atau kelompok atau organisasi yang dipercaya dan/atau memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mendampingi perempuan berhadapan dengan hukum, dengan tujuan membuat perempuan merasa aman dan nyaman dalam memberikan keterangan selama proses peradilan berlangsung.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih tidak berpihak kepada perempuan korban. Keadilan bagi para perempuan korban masih jauh panggang dari api karena posisi perempuan korban yang masih kerap dilemahkan oleh (aparat penegak) hukum. 

Masih saja ada polisi, hakim atau jaksa dalam proses pemeriksaan yang melontarkan pertanyaan tidak etis pada korban perkosaan, misalnya. "Pelaku menggunakan gaya apa pada saat main dengan kamu?" Hal ini amat sangat disayangkan mengingat salah satu fungsi penegak hukum adalah memberikan rasa aman bagi para pencari keadilan.
Reformasi sistem hukum secara tertulis dan hukum acara diperlukan untuk mengakomodasi pengalaman perempuan korban. Sistem dan produk tersebut harus dapat memastikan suatu peraturan perundang-undangan, termasuk hukum pidana, yang berperspektif gender dan berpihak pada perempuan korban. Prinsip-prinsip dalam teori hukum feminis merupakan suatu solusi untuk menghentikan praktik hukum yang bias gender, salah satunya adalah dengan berupaya untuk mendengar pengalaman perempuan korban. 

Lebih jauh lagi, perubahan perspektif akibat budaya patriarki yang menyubordinasikan perempuan perlu dilakukan dalam tiga unsur sistem hukum secara menyeluruh yakni struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Reformasi hukum ke depan juga perlu melihat dan melibatkan (pengalaman) perempuan sehingga keadilan bagi perempuan korban yang berhadapan dengan perkara hukum bukan menjadi hal utopis dan sungguh dapat memberikan jawaban atas pencarian keadilan oleh para perempuan korban yang telah berani melaporkan segala bentuk ketidakadilan yang dialaminya. (Sandiata: 2018)      


catatan ide dan inspirasi nurhilmiyah
Perempuan di sidang pengadilan/Borneonews

Relevansinya dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan dan penghargaan terhadap saksi atau korban atau pelapor merupakan suatu prinsip yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, dan  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, karena berkaitan dengan pentingnya keterangan saksi atau korban dalam mengungkapkan fakta hukum atas tindak pidana korupsi, tindak piudana pencucian uang, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan.
    Perlindungan saksi atau korban atau pelapor penting diberikan karena menyangkut ancaman atau intimidasi yang diterima oleh saksi atau korban atau pelapor atas keterangan atau laporan untuk mengungkapkan kejahatan tersebut. Mekanisme Perlindungan saksi dan korban telah diterapkan melalui sistem pelaporan dan perlindungan yang ada di Lembaga Perlindungan Saksi atau Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Upaya perlindungan saksi atau korban tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tetapi juga perlu diatur dalam KUHAP, sebagai ketentuan beracara dalam proses peradilan pidana. 

  Mekanisme perlindungan saksi atau korban atau pelapor perlu mempertimbangkan sistem perlindungan yang terintegrasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan tindak pidana yang serius seperti korupsi, tindak pidana pencucian, narkotika, HAM berat dan lainnya. Serta perlu meningkatkan jaminan kerahasiaan saksi atau korban atau pelapor terhadap tindak pidana serius tersebut. (Wangga: 2013)

catatan ide dan inspirasi nurhilmiyah
Perempuan di sidang pengadilan/ Kumparan.com
                 

    Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sesudah Lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017   

   Berdasarkan penelusuran penulis mengenai proses penanganan perkara pada perkara pidana, pada perkara perdata juga ditemukan perbedaan kondisi penegakan hukum pasca lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017. Dalam hal ini mengenai perkara Cerai Talak (CT) dan Cerai Gugat (CG) pada peradilan agama.

Sebelum adanya PERMA, pada CT tidak ada amar yang memerintahkan kepada Pemohon untuk melaksanakan putusan yakni membayar beban sebelum ikrar talak diucapkan. Dalam pertimbangan hukum hakim terdapat adanya perintah pembayaran nafkah iddah dan mut’ah yang dibayarkan sebelum pengucapan ikrar talak akan tetapi kurang maksimal.

Setelah adanya PERMA, bekas suami boleh membayar iddah dan mut’ah sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak. Pada praktiknya, bekas suami diperintahkan untuk membayar iddah dan mut’ah sebelum pengucapan ikrar talak putusan. Tentunya hal ini suatu terobosan yang sangat menarik untuk dikaji. Sebab belum diketemukan dalam kaidah hukum Islam dan hukum positif bahwa bekas suami diwajibkan membayar iddah dan mut’ah sebelum pengucapan ikrar talak.

Pada perkara Cerai Gugat (CG), sebelum adanya PERMA No. 3 Tahun 2017, bekas istri tidak mendapatkan hak-haknya atau nafkah, mut’ah, iddah dan nafkah madliyah. Sesudah dikeluarkannya PERMA, pada putusan gugatan perceraian Nomor 3529/Pdt.G/2017/PA.Kdr, istri juga tidak memperoleh hak-haknya tersebut.

Berdasarkan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri, Syamsurijal, menjelaskan bahwa alasan hakim tidak memberikan hak-hak istri berupa nafkah iddah dan mut’ah, karena pada putusan CG, pihak istri yang mengajukan gugatan perceraian sehingga dalam hal ini istri dianggap nusyuz sehingga tidak berhak mendapatkan hak-hak nafkah iddahnya. (Rikza: 2018)

Menurut penulis, belum tentu istri yang mengajukan gugatan perceraian bisa dianggap nusyuz  (melawan perintah suami/durhaka/membangkang). Sebab berdasarkan data yang diperoleh dari Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan, faktor penyebab nomor satu istri melayangkan CG adalah faktor ekonomi. Spesifiknya, suami tidak menjalankan tanggung jawab menafkahi istri dan anaknya. Faktor kedua adalah adanya campur tangan pihak ketiga dalam rumah tangga para pihak, disusul faktor selanjutnya ketiadaan komitmen para pihak untuk menjaga kelangsungan pernikahannya.

Sesuai dengan asas penghargaan atas harkat dan martabat perempuan sebagai seorang manusia, asas keadilan dan kemanfaatan yang terkandung di dalam PERMA No. 3 Tahun 2017, seyogyanya hakim mampu melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender terkait pemenuhan hak-hak penghidupan yang layak bagi pihak istri yang mengajukan CG. Sebagaimana Pasal 6  PERMA No. 3 Tahun 2017 ini hakim diharapkan mampu menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara, non diskriminasi.


 
catatan ide dan inspirasi nurhilmiyah
Ekspresi perempuan jika dilindungi dengan baik/Cosmopolitan



Perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017, masih dijumpai penanganan perkara dan putusan peradilan yang justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum setelah lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017 diharapkan semakin baik sebab pasal-pasal pada PERMA tersebut telah mengatur proses penanganan perkara yang berkeadilan gender.


Pentingnya tindak lanjut dari lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017 dengan sosialisasi secara lebih meluas dan komprehensif serta berkelanjutan. Agar PERMA ini lebih implementatif guna meminimalisasi penanganan perkara oleh hakim yang tidak sensitif gender. Sehingga kehadiran PERMA ini tidak sekadar lip service bagi upaya perlindungan hukum terhadap perempuan.

 

catatan ide dan inspirasi nurhilmiyah
Ibu yang berbahagia bisa selalu bersama buah hatinya/ Muslimah.co.id

 


catatan ide dan inspirasi
Satlantas Polres Jember


Menyusuri jalan setiap harinya membuat saya jadi berpikir. Bahwa sebenarnya menjalani hari demi hari kehidupan ini bagaikan berkendara di jalanan. Terkadang kita berada di depan kendaraan yang satu, di lain waktu kita ada di belakang kendaraan yang sebelumnya kita dahului.

Di tiap persimpangan bertemu dengan 'traffic light', tampak nyala lampu berwarna merah. Artinya selaju apapun kendaraan yang kita naiki ternyata harus berhenti jua di simpang itu. Tetap memutuskan lanjut berjalan, paling tidak dua risiko menanti. Ditabrak kendaraan dari jalur berbeda atau ditilang polantas karena tidak mematuhi rambu lalu lintas.

Lampu hijau menyala, artinya kita pun bergegas meninggalkan perempatan. Memilih berhenti pada saat itu, pastilah membuat kacau persimpangan. Terdengar klakson di sana sini, menimbulkan kemacetan dan memicu hipertensi pengendara lain. Jangan ikut emosi apabila dihadiahi ungkapan "isi kebun binatang".

Melihat lampu kuning tandanya kita harus berhati-hati, tetap menjaga jarak dengan kendaraan di depan dan fokus melihat situasi dan kondisi jalan. Satu waktu, lampu-lampu itu bisa saja tidak nyala satu pun. Siapkan mental, mungkin saja akan terjadi kemacetan parah yang menyebabkan waktu habis di jalan dan kita pun terlambat tiba di tujuan.

Adakalanya kendaraan yang berada di depan kita amat sangat lambat jalannya. Lalu dengan bahasa lampu sein kanan, kita memberikan kode kepadanya agar membukakan jalan untuk kita yang berjalan di belakangnya. Bagi pengemudi kendaraan yang baik hati dan lulus ujian SIM, pastinya ia tahu diri dan dengan tanpa beban mempersilakan kita untuk melewatinya.

Namun kerap terjadinya di jalan, sudah beberapa kali meminta kesempatan untuk mendahului, kendaraan di depan santai dan cuek saja pura-pura tidak tahu. Jalannya lamban, di tengah pula. Jika bertemu pengendara model begini, yang bisa dilakukan adalah memperbanyak sabar dan berusaha tersenyum saja. Mungkin dia baru pandai mengemudikan kendaraannya, jadi tidak memahami kode-kode lampu kendaraan di belakangnya.

Kalau naik kendaraannya, baca dulu nih Tips Aman Naik Motornya.



catatan ide dan inspirasi nurhilmiyah

Satu saat kita perlu menyalib kendaraan yang di depan. Tentu saja dengan memperhatikan segi keamanannya. Setelah dirasa 'safety' tambah kecepatan dan dahului dengan penuh keyakinan. Terkadang celah untuk mendahului bagi kendaraan lain tidak sama dengan celah yang memungkinkan untuk jalan bagi kita. Bagi kendaraan lain celah itu cocok, muat dan ia berhasil melampauinya dengan selamat.

Belum tentu demikian bagi kendaraan kita. Bisa saja setelah ia mendahului, kendaraan di belakangnya mengisi celah tersebut dan menutup kesempatan bagi kendaraan kita untuk melewatinya. Begitulah kira-kira analogi berkendaraan di jalan, ternyata memiliki kemiripan dengan jalan hidup manusia setiap harinya.

Hidup bagaikan berkendara di jalan raya. Tiap orang bergerak di zona waktunya masing-masing, amat bersifat kasuistis dan sangat spesifik, tidak bisa digeneralisasi.

Salam literasi

catatan ide dan inspirasi nurhilmiyah
Sumber gambar: pixabay.com

Artikel ini pernah dimuat di laman UC News

Membaca merupakan salah satu kemampuan yang selayaknya dimiliki oleh anak-anak usia sekolah. Kemendikbud mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah sebagai salah satu upaya meningkatkan minat baca pada masyarakat Indonesia khususnya anak usia sekolah. Kegiatan asyik membaca bagi anak mampu mengurangi ketergantungannya pada televisi dan ponsel pintar yang sangat menjamur penggunaannya sekarang ini.
Anak yang hobi membaca dapat dengan mudah memahami pelajarannya di sekolah, menyelesaikan PR-nya, juga menjadikannya anak yang cerdas dan berwawasan luas. Tentu saja orangtua bahagia melihat buah hatinya rajin membaca apalagi sampai gila pada buku. Gila di sini bermakna positif yaitu bersemangat sekali dalam membaca.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis memiliki anak yang "gila" membaca, ada lima tips yang bisa dilakukan ayah dan ibu. Tips-tipsnya antara lain:
  1. Tunjukkan keteladanan pada anak bahwa kedua orangtuanya pun mencintai buku. Jika sedang di rumah, berusahalah membiasakan diri melakukan aktivitas membaca. Ayah membolak-balik koran dan ibu membuka-buka resep masakan. Meski bukan buku yang bertema berat, anak pasti akan memerhatikan kesibukan orangtuanya. Anak adalah peniru ulung ayah dan bundanya. 
  1. Ajaklah buah hati ke toko buku. Sebaiknya orangtua memiliki anggaran khusus untuk membeli buku. Bersama-sama berburu buku dengan anak di akhir pekan memberikan pengalaman yang seru bagi anak dan membuatnya ketagihan!
  2. Biasakan meletakkan buku dimana-mana. Taruh buku di dekat televisi, di ruang makan, di kamar tidur, bahkan di dasbor mobil. Contohkan dengan membaca sedikit-sedikit jika ada waktu. Akhirnya anak Anda akan "terkepung" oleh buku dan menganggap aktivitas membaca adalah kegiatan yang sama pentingnya seperti makan dan minum.
  3. Diskusikan isi buku anak bersama-sama. Anak akan merasa bukunya berharga bila orangtua mau ikut membaca dan membicarakannya. Akan jadi kegiatan yang menyenangkannya kalau ayah ibu bersedia bergabung bersamanya.
  4. Hadiahkan buku atas semua prestasinya. Memberi kado tak mesti di hari ulang tahunnya, namun bisa juga di setiap pencapaian prestasinya. Anda dapat mengungkapkan kebanggaan Anda padanya dengan menghadiahkannya buku kesukaannya.
Biar dapat info mendalam mengenai parenting, baca Cara Nabi Mendidik Anak yaa...
Demikian tips membuat anak Anda gila membaca buku. Anda bisa mengombinasikannya dengan gaya pengasuhan Anda sendiri. Semoga dapat menginspirasi dan membuat kita semakin mencintai kegiatan literasi khususnya membaca.
 
fadlimia-nurhilmiyah
Sumber gambar: Nyunyu
(Artikel ini pernah dipublikasikan di UC News, 2017)
 
Belajar di perguruan tinggi tentulah berbeda dengan studi di sekolah menengah. Mahasiswa dituntut harus lebih mandiri dan proaktif. Berbeda dengan di SMA, ada guru yang selalu memberitahu dan menunjukkan informasi pada siswa-siswinya. 
Di kampus, semua mahasiswa harus aktif mencari tahu agar tidak ketinggalan pengumuman-pengumuman atau perubahan jadwal kuliah. Termasuk mengenai kiat memperoleh kesuksesan belajar di kampus.

Berikut 5 ( lima) kiat agar kamu sukses belajar di perguruan tinggi:

 1. Miliki niat yang kuat

Niat memiliki peranan penting untuk menentukan keberhasilan belajar di kampus. Kalau sudah berniat untuk belajar serius maka rintangan-rintangan kecil yang mungkin muncul, tidak akan melemahkan semangat belajar. Tak ada salahnya mempertanyakan kembali pada diri sendiri, sebenarnya apa tujuanmu melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Setelah menjawab pertanyaan itu, maka motivasi untuk mengejar kesuksesan biasanya akan datang sendiri. 

2. Berteman dengan mahasiswa yang rajin 

Tidak bisa dipungkiri, faktor teman seringkali menentukan keberhasilan studi di kampus. Kalau kamu dikelilingi teman-teman yang rajin mengerjakan tugas dan rata-rata mereka meraih IPK yang tinggi, maka lambat laun kamu pun akan terpengaruh jadi rajin seperti mereka.


3. Duduk paling depan

Ada kata-kata populer di kalangan mahasiswa, posisi menentukan prestasi. Jika berusaha untuk memperoleh duduk di kursi paling depan, kamu akan mendengar penjelasan dosen dengan lebih lengkap. Tayangan materi power point pun lebih mudah dilihat karena dekat dengan tempat duduk kamu.

4. Mengumpulkan seluruh komponen tugas tepat waktu

 Dosen sering menginstruksikan tugas kepada mahasiswanya. Terkadang ada mahasiswa yang kurang merespon tenggat waktu menyetorkan tugas. Usahakan kamu adalah mahasiswa yang selalu on time mengumpulkan tugas. Ini merupakan poin penting penilaian dosen kepada mahasiswanya

5.  Rajin menambah bacaan

Sebagai orang yang menyandang predikat mahasiswa, sudah barang tentu kamu harus memperkaya wawasanmu dengan bacaan. Baik membaca buku terkait dengan mata kuliah yang sedang ditempuh, maupun tentang ilmu pengetahuan umum. Hal ini berguna agar kamu menjadi mahasiswa yang cerdas dan memiliki prestasi akademik yang membanggakan.
Demikianlah 5 (lima) kiat sukses studi di perguruan tinggi. Semoga dapat bermanfaat dan diterapkan, agar kelak memperoleh gelar sarjana yang diidam-idamkan. Silakan kalau ada kiat lain tambahkan di kolom komentar ya, Guys!
Salam literasi


Sumber gambar: pixabay.com


(Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di UC News pada tahun 2017)

Menjadi mahasiswa selayaknya Anda berusaha menjadi pribadi yang baik di kampus. Mengingat mahasiswa adalah orang dewasa yang sudah seharusnya berpikir lebih matang dan visioner demi meraih masa depan yang lebih baik. Berdasarkan pengalaman penulis hampir tigabelas tahun menjadi dosen, ada lima tipe mahasiswa yang tidak disukai, yaitu:
1. Sering datang terlambat. Kelas sudah dimulai tetapi si mahasiswa dengan seenaknya saja mengetuk pintu, masuk dan duduk. Tentu saja hal ini dapat merusak situasi pembelajaran yang sedang berjalan. Datang terlambat bisa membuyarkan konsentrasi dosen dan rekan-rekannya. Menjadi salah satu indikasi bahwa si mahasiswa tidak menaati kontrak perkuliahan yang telah disepakati bersama di pertemuan perdana.
2. Tidak mengumpulkan tugas pada waktunya. Mahasiswa yang tidak mengerjakan tugasnya tentunya dianggap tidak memenuhi komponen penilaian berupa tugas yang diberikan dosen. Hal ini bisa mengakibatkan rendahnya poin penilaian, bahkan ketidaklulusan si mahasiswa. Lebih penting lagi, tidak tercapainya tujuan pembelajaran, yaitu menguasai topik bahasan dengan sebaik-baiknya.
3. Membuat kegaduhan di dalam ruang kuliah. Tak jarang didapati, beberapa mahasiswa suka berbicara dengan teman-temannya selagi dosen menyampaikan materi kuliah. Tipe mahasiswa seperti ini mengganggu suasana kondusif di ruang kuliah, menciptakan kegaduhan. Padahal, ada saatnya untuk diam menyimak dan ada pula waktu untuk berbicara.

Pada saat presentasi, misalnya. Mahasiswa diharuskan untuk memaparkan presentasinya dengan baik. Pada saat mengajukan pertanyaan, mahasiswa malah dianjurkan untuk berbicara dengan jelas agar dosen dan rekan-rekannya bisa memahami konten yang ditanyakan.
4. Tidak menjaga sopan santun. Ada mahasiswa yang masuk ke ruang kuliah dengan memakai sandal jepit, kaos oblong, rambut acak-acakan, merokok, dan tidak terlihat tanda-tanda dia akan mengikuti perkuliahan. Tidak ada catatan, tak memiliki buku pegangan, bahkan tidak membawa satu pun alat tulis.

Mengapa dianggap tidak menjaga sopan santun, karena tipe seperti ini tidak menghargai mimbar akademik yang dia sendiri ada di dalamnya. Seseorang berpenampilan mestinya menyesuaikan dengan tempat dimana ia berada. Ketika sedang di kampus, seharusnya ia mematuhi tata cara berpakaian dengan baik dan benar sesuai peraturan universitas.
5. Suka menitipkan tanda tangan. Mahasiswa tipe ini sering absen kuliah namun tidak ingin ketidakhadirannya itu mempengaruhi pencapaian nilainya secara keseluruhan. Untuk bisa tetap dianggap hadir di ruang kuliah, si mahasiswa meminta rekannya untuk meniru dan menandatangani kolom atas namanya. Titip Absen (TA), istilah populernya.

Tentu saja hal ini tidak bisa ditolerir. Jika dosen mengetahui dan membiarkan saja, inilah yang kelak menjadi bibit-bibit koruptor dan tukang bohong di masa depan. Secara administratif kelihatannya hadir, riilnya ia tidak datang. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini, yang menitipkan dan yang dititipi tanda tangan harus menerima konsekuensinya.
Demikian kelima tipe mahasiswa yang tidak disukai dosen. Semoga tidak diikuti agar menjadi mahasiswa yang bijak menempatkan diri secara proporsional. Jika selagi menjadi mahasiswa sudah mampu berperilaku yang baik, kelak setelah lulus dan memasuki dunia kerja, bisa beradaptasi dan diterima dengan baik oleh koleganya.
Sumber foto: Pixabay.com
emansipasi kartini perempuan Indonesia
Artikel author yang dimuat di Koran Cerdas / Facebook Nurhilmiyah



Artikel ini dimuat di Koran Cerdas UMSU edisi 28 April 2017

Tulisan ini nyaris saja tidak saya selesaikan mengingat rutinitas pekerjaan yang menyita waktu keseharian. Ditambah lagi dengan tugas utama saya mendidik generasi yang saya lahirkan sendiri. Saya tertantang oleh diri saya sendiri ketika mengingat zaman kuliah S1 dahulu, saya pernah diminta menjadi narasumber sebuah forum diskusi di suatu elemen gerakan eksternal kemahasiswaan di lingkungan kampus Gadjah Mada. Saya ingin mengetes sejauh mana ingatan saya dalam menganalisis isu kesetaraan gender yang selalu hangat dibicarakan orang menjelang atau setelah peringatan Hari Kartini.


Ada satu buku menarik, menimbulkan polemik, namun berkesan di hati saya. Membiarkan Berbeda. Waktu itu saya memberikan kode “wajib beli” pada buku ini. Tidak sekadar “wajib baca” saja. Dikarang oleh seorang perempuan cerdas yang segera menjadi salah satu idola saya setelah saya melahap habis isi bukunya. Pelopor pendidikan holistik berbasis karakter yang sedang menjadi tren sekarang ini. Dia adalah Ir. Ratna Megawangi, M.Sc., Ph.D. Profil beliau ingin sekali saya jadikan role model tapi rasanya bagaikan pungguk merindukan bulan, antara saya dan beliau begitu jauh perbedaannya.


Ibu empat orang anak yang menamatkan S2 dan S3-nya di Tufts University, Massachussets, Amerika Serikat ini justru makin teguh dengan konsepnya memperkuat institusi keluarga pada saat ia menimba ilmu di negeri barat. Tentunya hal ini tak lepas dari aktivitas kesehariannya sebagai dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Keluarga di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga di IPB.


Saya merasa beruntung mengenal beliau meski hanya dari karyanya. Karena dari pemikirannya itulah saya menemukan sudut pandang baru tentang relasi gender yang rasanya pas sekali untuk perempuan Indonesia. Tanpa perlu ‘ngotot’ meminta hak untuk total disetarakan, karena laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling bekerjasama, bukan untuk saling bersaing secara diametral, tetapi berdampingan dengan perbedaan fisik yang telah dikaruniakan Allah SWT. Kesetaraan dalam keragaman.


Setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini. Sedari mengenyam pendidikan dasar, para guru menceritakan sosok perempuan Indonesia yang menjadi simbol kebangkitan semangat perubahan kaum perempuan. Kumpulan surat-surat Kartini untuk sahabat-sahabat korespondensinya, antara lain Rosa Abendanon dan Estella H. Zeehandelar di Belanda sungguh fenomenal, Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat tersebut menjadi satu buku. Diakui bahwa sedikit banyak, pemikiran Kartini dipengaruhi pemikiran sahabat-sahabat Yahudinya itu. Namun tulisan ini tidak hendak memfokuskan diskusi pada bahasan tersebut.


Perempuan yang hidup setelah era Kartini merasakan efek kebangkitan spirit dahsyat emansipasi. Pemikiran kartini mengubah mindset bahwa perempuan yang sebelumnya hanya berkutat di tiga area “ur”-meminjam istilah seorang ulama kondang- di sumur, di dapur dan di kasur, menjadi leluasa berkiprah di ranah publik sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan bisa bersekolah setinggi-tingginya, berkreativitas, bekerja di luar rumah dan melahirkan ide-ide inovatif dari pikirannya.


Namun sayang belakangan nilai-nilai positif yang diusung oleh Kartini ini sedikit demi sedikit tereduksi menjadi pengertian terhadap emansipasi yang salah kaprah oleh sebagian perempuan itu sendiri. Dengan mengatasnamakan kaum feminis, mereka menggaungkan tuntutan yang dinamakan kesetaraan gender sama rata sama rasa (50/50, baca: fifty fifty). 


Sepintas gerakan ini tampak baik sekali. Secara etika, moral dan agama kita memang dianjurkan untuk membantu kaum yang lemah. Dalam hal ini pihak yang disebut lemah, tertindas dan termarginalkan adalah perempuan. Penerjemahannya dalam level praksis seringkali teori feminisme mainstream yang bermula dari awal abad 20 itu dipahami secara parsial oleh generasi muda sekarang ini. Terkadang tuntutan-tuntutan kesetaraan gender dilontarkan tanpa pemahaman yang komprehensif, pada akhirnya malah menjadi alat propaganda untuk mencapai tujuan politis golongan tertentu.


Feminisme memiliki kemiripan dengan paradigma Marxis yang selalu membenturkan antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, si berkuasa dan si tertindas. Marxisme melihat institusi keluarga adalah ‘musuh’ pertama yang harus dilenyapkan jika ingin menciptakan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama berperan baik di luar maupun di dalam rumah. 

emansipasi kartini perempuan Indonesia
Author dan sang buah hati


Keluarga dianggap cikal bakal dari segala ketimpangan sosial yang ada, terutama hubungan yang dirasa tidak setara antara suami dan isteri. Suami mengambil peran di ranah publik sementara sang isteri lebih banyak berjibaku dengan peran-peran pengasuhan. Feminis menganggap para perempuan perlu disadarkan akan kondisi ‘tertindas’ ini.  


Sejalan dengan bahasa dan istilah yang sering digunakan oleh paham Marxis seperti pemberdayaan kaum tertindas, perubahan struktural atau revolusi, penyebaran isu antikemapanan atau antikaum borjuis/patriarkal. Feminis memberi label bahwa perempuan-perempuan yang rela meninggalkan karirnya di luar rumah meski ia memiliki ijazah adalah korban dari indoktrinasi stigma romantisasi peran sebagai ratu rumah tangga yang selalu ditanamkan ke benaknya oleh kaum laki-laki, khususnya sang suami.


Di saat yang sama, dunia membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, bermoral baik dan tetap peduli kaum yang lemah. Individu-individu seperti ini mustahil dilahirkan dari relasi sosial yang tidak harmonis. Lembaga keluarga yang sehat adalah salah satu wadah yang paling efektif untuk menciptakan pribadi-pribadi berakhlak mulia, sebagai tempat anggotanya belajar untuk saling menghormati, membina hubungan saling menghargai, melindungi dengan penuh kasih sayang walaupun peran masing-masing anggotanya berbeda-beda. Yang sebaiknya kita lakukan untuk membenahi semuanya adalah menggali potensi rasa cinta dalam hati kita, sehingga relasi sosial yang harmonis, penuh kedamaian, dan rasa saling menghormati itu dapat terwujud.


Kesetaraan yang diupayakan dengan jalan kebencian terhadap si berkuasa tidak akan membuahkan hasil secara optimal. Sesuatu yang dimulai dengan kemarahan hanya akan mendatangkan kemarahan lagi. Itulah salah satu poin ketidaksepakatan dengn paham Marxisme dalam hal kesetaraan gender ini.
Tak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan tetap memiliki perbedaan secara kodrati. Kaum feminis bersikeras menyatakan bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan semata-mata karena produk budaya atau konstruksi sosial yang patriarkal, bukan karena perbedaan biologis, nature atau genetis. 


Terjadi kontradiksi di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, kaum feminis mendapati banyak contoh perempuan modern yang mengidap suatu sindrom menurut Colette Dowling, yaitu Cinderella Complex. Kondisi di saat para perempuan yang sudah bebas mandiri, ternyata jauh di dalam lubuk hatinya masih memerlukan perlindungan dari laki-laki. Namun para laki-laki ternyata juga telah terbebaskan, mereka sudah tidak mau lagi memberikan perlindungan kepada kaum perempuan. Karena dianggap sudah setara dan menjadi saingan mereka.


Akhirnya suka atau tidak suka tuduhan penyebab kondisi tersebut berbalik, menjadi bumerang, kembali mengarah kepada paham feminisme, kesalahan ditujukan pada kaum feminis. Pertanggungjawaban dimintakan kepada pengusung kesetaraan gender yang benar-benar ingin setara tanpa menyadari bahwa secara alamiah perempuan dan laki-laki memang diciptakan berbeda untuk saling mengisi dan saling melengkapi.


Saya sepakat dengan sudut pandang yang arif untuk membenahi carut marut definisi kesetaraan gender menurut Ratna Megawangi, yaitu memandangnya sebagai relasi yang komplementer. Walaupun perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda namun bersatu dalam mencapai tujuan yang sama. Meredefinisikan pengertian kesetaraan gender, mengakui bahwa memang ada perbedaan alamiah antara perempuan dan laki-laki, yaitu melalui konsep kesetaraan dalam keragaman.

So, masih ingin ngotot benar-benar setara?
*Penulis adalah peminat kajian hukum dan sosial, dosen Fakultas Hukum UMSU, anggota Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UMSU
 Repost

 
nurhilmiyah-fadlimia
Ibunya mengisi pengajian, anak-anaknya "tampil" juga gak mau kalah / Instagram nurhilmiyah14

Hari ini saya didaulat ibu-ibu pengajian dekat rumah untuk membawakan materi kajian Islam sebagai pengantar sebelum ustadz yang sesuai jadwal pengajian cabang Medan Area, tiba. Sebenarnya pengurus majelis taklim telah mengabari saya sejak minggu lalu. Namun karena tergerus kesibukan meski ada empat hari libur (Sabtu s.d. Selasa tanggal 26/12/2017), saya melakukan persiapan cuma satu malam. Tema yang akan diangkat memang sudah saya oret-oret sedari Rabu lalu.

Sambil menunggu jam kuliah berikutnya, saya mengetik dua halaman tulisan tentang "ghazwul fikr", perang pemikiran atau perang peradaban. Mungkin termasuk tema yang berat. Namun untuk ibu-ibu di kawasan perkotaan seperti lingkungan rumah kami, materi tentang perkembangan Islam kontemporer sepertinya sering dibawakan ustadz atau ustadzah.

nurhilmiyah-fadlimia
Para pengurus Ranting Laksana mengadakan pertemuan / dokpri

Tulisan singkat itu selesai, saya print di rental depan kampus dan diperbanyak kurang lebih tigapuluh lembar. Ternyata amat sangat kurang. Yang hadir hampir enampuluh orang! Alhamdulillah, minat masyarakat khususnya para ibu untuk datang ke majelis ilmu patut dibanggakan. Karena ibulah yang menjadi benteng terakhir ketahanan keluarga. Jika ibu berilmu, insyaAllah anak-anaknya dapat diarahkan menjadi lebih berakhlak. Menumbuhkan karakter saleh salehah putra putrinya.

Mendidik satu laki-laki sama dengan mengajari seorang saja dari milyaran penduduk dunia. Tapi mendidik satu wanita sama dengan mendidik satu bangsa. Demikian mantan Presiden Tanzania, negara di Afrika bagian timur, pernah menyampaikan pidatonya tentang pentingnya pendidikan bagi wanita. Jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah bersabda bahwa wanita adalah tiang negara, jika baik wanita maka akan baik pula suatu negara. Jika buruk wanita maka akan robohlah negara. Demikian utamanya mendidik para wanita, dari anak-anak, remaja putri sampai kaum ibu.

Ini merupakan penampilan kedua saya di depan ibu-ibu pengajian dekat rumah. Kira-kira tujuh bulan yang lalu, saya juga pernah "ditodong" pengurus pengajian untuk menggantikan ustadz yang berhalangan hadir. Saya bersyukur dari kecil bersekolah di madrasah, sampai pada saat kuliah pun mondok di pesantren mahasiswa. Sedikit banyak menguasai bahasa Arab, sepotong dua ada juga memiliki hafalan ayat Quran dan hadits. Akhirnya saya sampaikan saja walaupun mendadak.

Saya jadi teringat belasan tahun yang lalu saat berusia duapuluhan. Waktu itu ibu saya kebagian jadwal mengisi pengajian akbar majelis taklim di lingkungan kompleks rumah orangtua. Ternyata ibu baru ingat di waktu yang sama, ada undangan mengisi pengajian juga di tempat lain. Akhirnya ibu menghubungi panitia dan mengirimkan saya sebagai penggantinya.

Peristiwa seperti ini seingat saya berkali-kali terjadi. Bahkan untuk lokasi yang dibilang jauh dari rumah. Ibu mempercayakan saya menggantikannya. Saat itu saya tidak bisa mengelak. Kasihan ibu yang sudah diamanahi mengisi duapuluh lima majelis taklim setiap bulannya. Akhirnya mau tidak mau saya yang masih awam ini bisa dibilang asisten beliau, khusus untuk jadwal bentrok atau saat ibu kurang sehat.

nurhilmiyah-fadlimia
Author dan ibu-ibu pengajian / dokpri

Semenjak jadi dosen hampir tigabelas tahun terakhir ini praktis saya tidak lagi membantu ibu berceramah di pengajian ibu-ibu. Beliau jatuh sakit dan menghentikan aktivitas dakwahnya yang cukup melelahkan fisik.  Setelah menikah, saya harus cermat membagi waktu antara rumah tangga dan kampus, kesibukan mengurus bayi dan balita kami, menjadikan saya seakan menghilang dari dunia majelis taklim.

Sesekali saya hadir sebagai mustami' pada saat tak ada jadwal mengajar. Tiap hari "mencurahkan" isi teko, lalu kapan saat saya mengisinya kembali. Setiap hari menguliahi mahasiswa, tentunya mesti ada saat saya juga dikuliahi oleh para ustadz dan ustadzah. Agar hidup menjadi seimbang perlu ada harmonisasi kegiatan secara berkala. Selalu ada rasa damai manakala berada di tengah-tengah majelis ilmu. Ketentraman yang terkadang tak bisa selalu diungkapkan dengan kata-kata.

Salam literasi
nurhilmiyah-fadlimia
Pilihan nama-nama / Orami Parenting

Dahulu waktu masih duduk di kelas IV SD, saya pernah mengajukan ganti nama ke ayah dan ibu. Alasannya, kata guru nama saya susah disebutkan. Saya minta diberi nama pengganti Novi atau Nova. Kebetulan lahir di bulan November, kan pas tuh namanya Novi.

Apalagi kelas kami saat itu kedatangan murid baru yang bernama Nova. Anaknya cantik, rambutnya panjang, ikal. Orangnya keindo-indoan. Mirip bule. Segera saja Nova menjadi idola anak kelas empat. Meski yang pegang rangking satu selalu saya, Nova si murid baru langsung masuk sepuluh besar. Sepertinya semua anak ingin jadi temannya. Berbekal kesan bahwa yang namanya Nova itu cantik, pintar dan banyak temannya, saya pun ingin memiliki nama demikian.

Tentunya saat itu saya belum mengerti kalau ingin mengganti nama itu harus mengajukan permohonan penggantian nama ke Pengadilan Negeri. Sebab menurut ketentuan hukum Perdata ada beberapa peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan. Apa saja? Ini dia...

1. Kelahiran

2. Perkawinan

3. Perceraian

4. Kematian

5. Penggantian nama

6. Pengangkatan Anak

7. Pengesahan Anak


Menanggapi keinginan anak usia 10 tahun yang ingin mengganti namanya, ibu saya hanya tersenyum, ayah yang menjelaskan dengan panjang lebar. Bahwa nama itu adalah doa. Ada harapan kebaikan di dalamnya. Agar anak yang disemati nama indah itu mudah-mudahan dapat menyesuaikan sifatnya dengan arti nama. Ayah dan ibu berkewajiban menghadiahkan nama terbaik bagi anaknya.

Nama ayah saya Abdul Halim Ibrahim. Al Halim itu bagian dari asmaul husna yang berarti Maha Penyantun. Sama maknanya dengan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Adapun Ibrahim adalah nama kakek saya.

Ibu saya bernama Nur Aisyah. Jadi Nur yang menjadi nama depan saya berasal dari nama beliau. Digabungkan dengan nama ayah saya, halim, hilmi, hilmiyah. Jadilah Nurhilmiyah. Cahaya kesantunan, kelembutan, kira-kira demikian. Mendengar penjelasan ayah saya, akhirnya saya bisa menerimanya.

William Shakespeare boleh mengatakan, "What's in a name? That's which we call a rose, by any other name would smell a sweet." Namun bagi saya pribadi, menyesuaikan sifat dengan nama, menjadi tantangan tersendiri. Jika saya terpaksa bersikap yang berseberangan dengan nama, seolah-olah arti nama itu menjadi self reminder. Yang jelas, di hari akhir kelak semua manusia akan diabsen nama-namanya. Bersyukurlah bila orangtua memberi nama yang bermakna baik.

fadlimia nurhilmiyah
Tokopro


Ngomong-ngomong soal nama, kebetulan ada tips memberikan nama anak yang baik nih yang saya telusuri dari laman Muslim.Okezone:

1. Buatlah nama dari dua suku kata

Nama yang terdiri dari dua suku kata lebih disenangi daripada hanya satu suku kata (seperti nama saya Nurhilmiyah yang disambung semuanya, bikin paspor pun payah,, haha).

2. Berikanlah nama dengan makna yang dalam

Seringkali orang kayak asal-asalan saja merangkai nama anaknya. Dari nama tumbuhan, nama latin hewan, ataupun nama-nama plang toko yang mungkin tidak sengaja terbacanya di jalanan. Sebaiknya dihindari, sebab nama buah hati ada doa yang akan selalu kita lantunkan setiap saat kala memanggilnya. Maka sudah seharusnya memberikan nama terbaik apalagi hal tersebut adalah salah satu hak anak yang wajib dilaksanakan kedua orang tua.

3. Utamakan menggunakan nama-nama dari Asma'ul Husna

Abdul Halim, Abdul Latif, Abdul Fattah, Abdul Hafizh adalah sekian nama dari nama-nama yang menggunakan nama-nama Allah SWT (Asma'ul Husna). Namun sudah jarang orang sekarang menyematkan nama-nama indah tersebut menjadi nama putra-putranya. Hal penting yang mesti digarisbawahi adalah, jika menghadiahkan asmaul husna ini sebagai nama anak, sebisa mungkin menyapanya dengan lengkap tanpa meninggalkan kata "Abdul"-nya.

Misalnya namanya Abdul Fattah (Hamba dari Yang Maha Pembuka Rezeki), jangan memanggil dengan sebutan Fattah saja sebab hal itu sama saja dengan memanggil Allah SWT. (Hai, Pembuka Pintu Rezeki... tak pantas, bukan) Tapi sebutlah dengan Abdul Fattah, berarti memang memanggil yang punya nama.

4. Berasal dari nama-nama orang yang saleh

Mempersembahkan nama bagi anak akan sangat baik pula jika memakai nama tokoh-tokoh yang saleh dalam sejarah. Harapannya, agar si anak nantinya memiliki tanggung jawab moral untuk menyamakan profilnya dengan orang yang saleh, yang namanya sama dengannya. Sekali lagi karena nama adalah doa, sedapat mungkin hanya kata-kata yang baiklah yang kita ucapkan dalam memanggil nama buah hati. Agar kesan nama indah tersebut menyelimuti hari-hari si anak.

Teman-teman gimana nih... adakah yang samaan dengan saya? Sempat galau dengan nama sendiri, hihi


fadlimia-nurhilmiyah

Salam literasi



catatan-ide-dan-inspirasi-nurhilmiyah
Plang nama ruang mediasi di suatu pengadilan / Detik

Dimuat di Harian Metro Asahan, 10 Agustus 2012 

Diskusi bersama rekan sejawat saya sesama dosen di Fakultas Hukum Universitas Asahan mengenai peran mediator non hakim di pengadilan cukup serius. Saya terkejut seakan tak percaya mendengar penuturan rekan tersebut yang juga berprofesi sebagai mediator di suatu pengadilan di Kabupaten Asahan ini. Katanya, ia “disidang” oleh beberapa orang hakim di satu ruangan terkait dengan terlalu besarnya honorarium sebagai mediator yang dimintanya dari para pihak yang berperkara. Akhirnya forum itu memutuskan agar ia sebagai mediator hanya diperbolehkan mengambil honor sebesar Rp.50.000 dari setiap perkara. 


Pertimbangannya karena Rp. 500.000,- yang dimintanya kepada para pihak dirasa memberatkan apalagi hakimlah yang memiliki kewenangan memerintahkan agar perkara tersebut menjalani mediasi. Dengan kalimat sederhana, hakim tersebut ingin mengatakan bahwa, ”kan saya yang menyuruh perkara ini dimediasi” Jadi mau tak mau mediator wajib turut kepada perintah Ketua Pengadilan kalau masih mau jadi mediator di kantor ini. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (6) Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma 1/08) yang menyebutkan: Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. 

Dari segi para pihak yang tidak mampu itu, keputusan “forum” tersebut merupakan angin segar yang menyenangkan. Karena para pihak tidak perlu lagi mengeluarkan uang sebanyak yang diminta mediator. Bahkan cukup menunjuk mediator hakim saja, tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Karena menurut Pasal 10 Perma 1/08, ayat (1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Tapi apakah benar demikian, jika orang sudah berhubungan dengan birokrasi di pengadilan? Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada pengadilan, antara lain: lambatnya penyelesaian sengketa (waste the time) hal ini terjadi akibat sistem pemeriksaannya yang sangat formalisitis (very formalistic) dan juga sangat teknis (very technical). 

Selain itu yang tak kalah penting, mahalnya biaya perkara, dan biaya ini akan semakin mahal pula apabila waktunya semakin lama. Ali Budiarjo dkk dalam bukunya Reformasi Hukum Di Indonesia merilis hasil penelitian selama bertahun-tahun di pengadilan Indonesia. Dalam proses dibawanya perkara ke pengadilan, biaya “tidak resmi” (atau “tidak biasa”) dapat dijumpai, yang dikenakan oleh pihak tertentu selaku “penjual jasa hukum". Sebagai suatu contoh, bahkan walaupun secara matematis biaya sebuah putusan yang dibebankan pada pihak yang bersengketa adalah Rp. 15.000, pengalaman menunjukkan bahwa putusan tersebut tidak akan dikerjakan atau segera diserahkan oleh panitera bila yang dibayar adalah hanya jumlah yang resmi. 

catatan-ide-dan-inspirasi-nurhilmiyah
Mediator Hakim sedang berupa mendamaikan para pihak / Facebook Ummu Hafayum
 
Dari sudut pandang mediator tentu saja penentuan secara sepihak besaran honorarium mediator nonhakim sangatlah tidak adil dan cenderung bersifat subyektif. Pasal 10 ayat (2) Perma 1/08, menyatakan dengan jelas bahwa: Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Jadi penetapan honorarium mediator secara satu pihak oleh Ketua Pengadilan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan pesan yang diamanatkan Perma 1/08. Hal ini sama dengan mengebiri, meremehkan dan mengecilkan peran mediator non hakim di pengadilan. Mediasi wajib dilaksanakan karena perintah dari peraturan. 


Pasal 2 ayat (3) menegaskan, tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Keberadaan seorang mediator non hakim sebagai mediator mandiri sangatlah penting. Pasal 5 ayat (2) Perma 1/08 menyebutkan: Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. Jadi mediator non hakim bukanlah “orang luar” yang dirasakan asing kehadirannya melainkan mitra kerja hakim sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian (Pasal 1 ayat (6) Perma 1/08). 


Dapat dikatakan mediator non hakim dan hakim itu sama tingkatannya atau satu level. Bukan seperti pegawai administrasi ataupun makelar kasus yang dapat dijumpai di pengadilan sebagaimana hasil penelitian Ali Budiarjo dkk. Mediator berhasil membantu para pihak keluar dari proses peradilan yang panjang dan berbelit-belit jika perkara yang ditanganinya berakhir dengan damai. Layakkah Rp. 50.000,- diberikan untuk pendamai yang sukses memangkas proses dan tahap-tahap litigasi yang demikian menjenuhkan? Kalau memang hal itu sudah menjadi kesepakatan para pihak, sah-sah saja. Tapi faktanya, bukan para pihak tersebut yang menetapkannya. Para pihak yang bersengketa memiliki hak untuk menentukan mediator yang akan menangani perkaranya. 

Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perma tersebut di atas, Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: (a) hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan, (b). advokat atau akademisi hukum, (c). profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa, (d). hakim majelis pemeriksa perkara, (e). gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. Dari segi peraturan perundang-undangan, sudah sepantasnyalah hakim selaku pejabat di pengadilan, mematuhi Perma yang telah ditetapkan Mahkamah Agung (MA). 


Perma 1/08 harusnya benar-benar dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama dalam mendamaikan para pihak yang berperkara. Beberapa hasil penelitian, termasuk penelitian empiris tesis penulis, sebagian besar hakim masih menganggap proses mediasi dalam suatu pengadilan hanyalah formalitas semata. Belum ada kesungguhan dari para hakim untuk menekan laju derasnya jumlah perkara yang diproses di pengadilan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan poin konsiderans yang mengandung paradigma sosiologis yang melatarbelakangi hadirnya Perma terbaru ini. Mungkin saja nasib Perma 1/08 ini sama dengan nasib perma sebelumnya, yaitu Perma No. 2 Tahun 2003. Atau setali tiga uang dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR). 


Kedua peraturan produk MA tersebut menemui kegagalannya karena berbagai faktor. Antara lain disebabkan hanya dianggap formalitas semata. Sangat disayangkan apabila terlontar dari mulut seorang wakil Tuhan (baca:hakim), kalau bisa mediasi cepat-cepat saja, jangan lama-lama, satu hari langsung ada hasilnya. Padahal dengan sangat jelas bahwa Perma terbaru memberikan waktu lebih lama dari Perma 2003. Dari 30 hari kerja menjadi 40 hari kerja plus perpanjangan waktu atas kesepakatan para pihak paling lama 14 hari sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut. (Pasal 13 ayat (3 dan 4) Perma 1/08. 


Menyelesaikan perkara bukanlah persoalan ketok palu saja. Mendamaikan sengketa memiliki seni tersendiri. Mediator harus mampu menransfer ketrampilan perundingan kepada para pihak melalui saran dan nasehat tentang perundingan (interest based). Mediator memimpin dan mengarahkan pertemuan perundingan sesuai agenda, selalu mengingatkan bahwa para pihaklah yang mencari penyelesaian bukan mediator. Mediator hanya membantu para pihak menyelesaikan perkaranya dan menentukan siapa yang berbicara lebih dulu dan siapa kemudian. Mediator harus mampu menahan emosinya sendiri ketika menghadapi emosi salah satu pihak. 

catatan-ide-dan-inspirasi-nurhilmiyah
Alhamdulillah, kedua pihak menemui perdamaian / Facebook Ummu Hafayum

Demikianlah sebagian kecil dari ketrampilan yang dimiliki seorang mediator. Maka alangkah sempitnya wawasan berpikir orang yang dianggap paham hukum apabila menentukan besaran harga bagi jasa seorang mediator non hakim yang berhasil mendamaikan perkara yang ditanganinya. Tentu saja hal itu bukanlah tugas pokok dan fungsi seorang ketua pengadilan. Ada baiknya diserahkan saja secara otonom kepada para pihak yang bersengketa sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2) Perma 1/08. 


Bagi rekan sejawat yang sudah berpredikat sebagai mediator bersertifikat, saya sarankan jangan menyerah dan pantang mundur menghadapi marginalisasi eksistensi mediator non hakim di pengadilan. Dengan catatan, mohon diperhatikan juga kemampuan finansial para pihak sehingga bisa diperoleh jumlah honorarium yang layak dan disepakati, sehingga semua pihak sama-sama memperoleh win-win solution. Agar honor mediator tak dianggap horor. 

Nurhilmiyah, SH., MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan, Penulis Tesis “Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No, 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan”


catatatn-ide-inspirasi-nurhilmiyah
Ilustrasi kerusuhan sengketa lahan yang diamankan polisi / Merdeka


Dimuat di Harian Sindo 10 Agustus 2013


Sudah berminggu-minggu media massa memberitakan kasus sengketa lahan antarwarga dengan perusahaan di Register 45 dan Desa Seri Tanjung di Provinsi Lampung, serta di Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan. Lebih akrab terdengar dengan kasus Mesuji. 

Letak geografis, lokasi Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan itu sangat berdekatan. Secara adat masih berada dalam satu lokasi. Kasus ini berawal dari dugaan pemanfaatan areal pemanfaatan hutan. Ada tiga perusahaan besar yang mengintimidasi warga hingga menyebabkan warga tewas, stres, dan menderita cacat permanen. Perusahaan itu milik pengusaha Malaysia yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

          Para tersangka pembunuhan sadis yang berujung pemenggalan kepala itu menjalani proses hukum. Mereka terdiri dari orang perusahaan, dan dari warga masyarakat sendiri. Sebelumnya, warga Mesuji menyampaikan video sadis ke DPR RI yang berisi tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sejumlah oknum aparat dan pengusaha dalam sengketa lahan di Mesuji. 

Belakangan, Tim Gabungan Pencari Fakta  (TGPF) yang dibentuk pemerintah menemukan fakta bahwa tidak seluruhnya potongan video itu benar sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Ada beberapa adegan yang dilebih-lebihkan dengan bantuan teknologi sehingga tidak sesuai dengan temuan fakta di lapangan. 
Terlepas dari pendapat yang menyatakan bahwa rekomendasi yang dihasilkan oleh TGPF tidak menyentuh akar masalah, yaitu perihal konflik agraria, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilai hal tersebut. 

Hal yang menjadi fokus perhatian dari kasus Mesuji adalah tidak terpenuhinya hak-hak agraria warga negara oleh negara Tentunya hal ini menguatkan indikasi tidak tercapainya tujuan reformasi agraria.

Sengketa lahan tidak hanya terjadi di Mesuji. Persoalan sengketa lahan ini menjadi booming ketika dampaknya menjadi kekerasan, pembunuhan dan pemenggalan  sebagai bentuk dari konflik horizontal di masyarakat. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan reformasi agraria?  Apasaja yang menjadi tujuan dari reformasi agraria itu? Bagaimana hubungannya dengan Kasus Mesuji yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan? Dan kesimpulan apa yang bisa ditarik dari kasus Mesuji dan kegagalan reformasi agraria?

Berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), membawa perubahan fundamental pada hukum agraria Indonesia. 

Sebelum ada UUPA ada beberapa sumber hukum agraria yang berlaku secara bersamaan. Ada yang bersumber pada hukum adat, hukum perdata barat dan ada pula yang bersumber dari berbagai bekas pemerintahan swapraja yang umumnya bersifat feodal.

Sesuai dengan kondisi keagrariaan di Indonesia dan tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, Agraria Reform Indonesia (Reforma Agraria) meliputi 5 program (panca program), yaitu:
1.      Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2.      Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3.      Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4.      Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5.      Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Program yang keempat lazim disebut program landreform. Bahkan keseluruhan program Agraria Reform tersebut seringkali disebut Program Landreform. Maka ada sebutan landreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit.   

Tuma (1965) menyimpulkan bahwa landreform dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan agrarian reform (reforma agraria), yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus.

Istilah reformasi agraria merupakan istilah yang muncul belakangan ketika pidato awal tahun 2007 Presiden SBY.  Reforma Agraria ataupun “reforma(si) agraria” dimaksudkan sebagai suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas. 

Untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya.

Soekarno dalam Djalannya Revolusi Kita, 1960, (Boedi Harsono:1999) mengatakan bahwa melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia. Landreform bagaikan alas bagi suatu gedung, atau seperti batang bagi pohon. Sangat penting sehingga revolusi Indonesia tanpa landreform bagaikan gedung tanpa pondasi ataupun pohon tanpa batang, ia tidak akan dapat berdiri kokoh.

Dianto Bachriadi, mantan anggota dewan pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam tulisannya menyebutkan bahwa agenda untuk menjalankan reforma agraria ini diletakkan sebangun dengan berbagai program lainnya dalam kerangka revitalisasi pertanian di Indonesia. Jadi orientasi utamanya adalah untuk membantu para petani miskin. Bukan malah menguntungkan masyarakat pelaku agribisnis nonpetani.

Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. 


catatan-ide-inspirasi-nurhilmiyah
Petani di Kabupaten Mesuji, Lampung

 

            Jika dikaitkan dengan kasus Mesuji yang melibatkan 6 (enam) korporat bisnis besar para pengusaha perkebunan kelapa sawit dengan warga masyarakat di 8 (delapan) titik lokasi peristiwa sengketa lahan  di Mesuji, tentulah kita mempertanyakan, dari sekian banyak tujuan mulia reformasi agraria itu, berhasilkah dicapai untuk petani-petani miskin ataukah masih berpihak pada para tuan tanah. Dianto Bachtiar menyebutnya dengan reforma agraria palsu! 
           

Newer Posts Older Posts Home

Search

ABOUT ME

Pecinta buku dan pembelajar seumur hidup

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Kontak Saya
  • Kiat Sukses Kuliah Bagi Mahasiswa Baru
  • Mewaspadai Maraknya Penculikan Anak
  • Menumbuhkan Motivasi Internal
  • Review Kedua: Jurnal Membangun Tim Yang Solid
  • Membangun Struktur Organisasi Kota Hexagon Dengan Bahagia
  • Merefleksi Emansipasi Kartini
  • Menggandakan Ikhtiar Demi X-tra Happy
  • Ibu Pembaharu Saling Review Saling Membantu
  • Berpikir Tertib dengan Sixthinking Hat

Pageview

Archives Blog

  • ►  2023 (2)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2021 (22)
    • ►  December (4)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ▼  2020 (34)
    • ►  December (3)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (4)
    • ▼  February (12)
      • Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebelum dan ...
      • Bagaikan Berkendara Di Jalan Raya
      • Tips Membuat Anak Gila Membaca
      • 5 Kiat Sukses Studi Di Perguruan Tinggi Yang Harus...
      • Lima Tipe Mahasiswa Yang Tidak Disukai Dosen, Nomo...
      • Merefleksi Emansipasi Kartini
      • Mengisi Pengajian Ibu-Ibu
      • Batal Ganti Nama
      • Ketika Honor Mediator Dianggap Horor
      • Kasus Mesuji dan Kegagalan Reformasi Agraria
      • Vonis Sandal Jepit Ditinjau dari Sudut Pandang Sos...
      • Mewaspadai Maraknya Penculikan Anak
  • ►  2019 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2014 (1)
    • ►  February (1)

Categories

  • Aktivitas 2
  • BIntang Penjelajah 1
  • Bunda Produktif 12
  • Campus Life 3
  • Catatan 5
  • Dongeng 1
  • Ibu Pembaharu 14
  • Ibu Profesional 8
  • Ide 1
  • Inspirasi 4
  • Law Studies 1
  • Parenting 3
  • Psikologi 1
  • Sambut Semai 2020 2
  • Tahap Kupu-Kupu 6
  • Tips 1
Nurhilmiyah. Powered by Blogger.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Follow Me

@nurhilmiyah14

Copyright © Catatan Ide dan Inspirasi. Designed by OddThemes