Yuridis.id |
Artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum De Lega Lata (Terindeks SINTA 3) Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender. (Perma No. 3 Tahun 2017)
Sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) Indonesia mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.
Berdasarkan pertimbangan peraturan perundang-undangan yang telah terlebih dahulu ada, maka Mahkamah Agung perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Tentunya menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum sebelum dan sesudah lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017?
Perempuan menjadi Tersangka/Batamtoday |
Menurut Pasal 1 PERMA No. 3 Tahun 2017, perempuan berhadapan dengan hukum adalah
perempuan yang berkonflik dengan hukum. Ada 3 (tiga) pihak perempuan yang
berkonflik dengan hukum tersebut:
1. Perempuan sebagai korban
2. Perempuan sebagai saksi
3. Perempuan sebagai pihak
Pasal 2 PERMA memuat asas yang mestinya
ditaati hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
Asas-asas tersebut adalah, asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
asas non diskriminasi; asas kesetaraan gender; asas persamaan di depan hukum;
asas keadilan; asas kemanfaatan; dan asas kepastian hukum.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Bella Sandiata dalam Jurnal Perempuan yang berjudul Perempuan
Berhadapan dengan Hukum: Refleksi Penggunaan Pasal 284 dan 285 KUHP dalam
Pengalaman Pendamping Hukum.
Pendamping sendiri berarti
seseorang atau kelompok atau organisasi yang dipercaya dan/atau memiliki
keterampilan dan pengetahuan untuk mendampingi perempuan berhadapan dengan
hukum, dengan tujuan membuat perempuan merasa aman dan nyaman dalam memberikan
keterangan selama proses peradilan berlangsung.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih tidak berpihak kepada perempuan korban. Keadilan bagi para perempuan korban masih jauh panggang dari api karena posisi perempuan korban yang masih kerap dilemahkan oleh (aparat penegak) hukum.
Masih saja ada polisi, hakim atau jaksa dalam proses pemeriksaan yang melontarkan pertanyaan tidak etis pada korban perkosaan, misalnya. "Pelaku menggunakan gaya apa pada saat main dengan kamu?" Hal ini amat sangat disayangkan mengingat salah satu fungsi penegak hukum adalah memberikan rasa aman bagi para pencari keadilan.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih tidak berpihak kepada perempuan korban. Keadilan bagi para perempuan korban masih jauh panggang dari api karena posisi perempuan korban yang masih kerap dilemahkan oleh (aparat penegak) hukum.
Masih saja ada polisi, hakim atau jaksa dalam proses pemeriksaan yang melontarkan pertanyaan tidak etis pada korban perkosaan, misalnya. "Pelaku menggunakan gaya apa pada saat main dengan kamu?" Hal ini amat sangat disayangkan mengingat salah satu fungsi penegak hukum adalah memberikan rasa aman bagi para pencari keadilan.
Reformasi sistem hukum
secara tertulis dan hukum acara diperlukan untuk mengakomodasi pengalaman
perempuan korban. Sistem dan produk tersebut harus dapat memastikan suatu
peraturan perundang-undangan, termasuk hukum pidana, yang berperspektif gender
dan berpihak pada perempuan korban. Prinsip-prinsip dalam teori hukum feminis
merupakan suatu solusi untuk menghentikan praktik hukum yang bias gender, salah
satunya adalah dengan berupaya untuk mendengar pengalaman perempuan korban.
Lebih jauh lagi, perubahan
perspektif akibat budaya patriarki yang menyubordinasikan perempuan perlu
dilakukan dalam tiga unsur sistem hukum secara menyeluruh yakni struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukum. Reformasi hukum ke depan juga perlu melihat
dan melibatkan (pengalaman) perempuan sehingga keadilan bagi perempuan korban
yang berhadapan dengan perkara hukum bukan menjadi hal utopis dan sungguh dapat
memberikan jawaban atas pencarian keadilan oleh para perempuan korban yang
telah berani melaporkan segala bentuk ketidakadilan yang dialaminya. (Sandiata:
2018)
Relevansinya dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan dan penghargaan terhadap saksi atau korban atau pelapor merupakan suatu prinsip yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, karena berkaitan dengan pentingnya keterangan saksi atau korban dalam mengungkapkan fakta hukum atas tindak pidana korupsi, tindak piudana pencucian uang, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan.
Perempuan di sidang pengadilan/Borneonews |
Relevansinya dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan dan penghargaan terhadap saksi atau korban atau pelapor merupakan suatu prinsip yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, karena berkaitan dengan pentingnya keterangan saksi atau korban dalam mengungkapkan fakta hukum atas tindak pidana korupsi, tindak piudana pencucian uang, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan.
Perlindungan saksi
atau korban atau pelapor penting diberikan karena menyangkut ancaman atau
intimidasi yang diterima oleh saksi atau korban atau pelapor atas keterangan
atau laporan untuk mengungkapkan kejahatan tersebut. Mekanisme Perlindungan
saksi dan korban telah diterapkan melalui sistem pelaporan dan perlindungan
yang ada di Lembaga Perlindungan Saksi atau Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Upaya
perlindungan saksi atau korban tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tetapi juga perlu diatur dalam KUHAP, sebagai ketentuan beracara dalam
proses peradilan pidana.
Mekanisme perlindungan
saksi atau korban atau pelapor perlu mempertimbangkan sistem perlindungan yang
terintegrasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan tindak
pidana yang serius seperti korupsi, tindak pidana pencucian, narkotika, HAM
berat dan lainnya. Serta perlu meningkatkan jaminan kerahasiaan saksi atau
korban atau pelapor terhadap tindak pidana serius tersebut. (Wangga: 2013)
Perempuan di sidang pengadilan/ Kumparan.com |
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sesudah Lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017
Berdasarkan penelusuran penulis mengenai proses penanganan perkara pada perkara pidana, pada perkara perdata juga ditemukan perbedaan kondisi penegakan hukum pasca lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017. Dalam hal ini mengenai perkara Cerai Talak (CT) dan Cerai Gugat (CG) pada peradilan agama.
Sebelum adanya PERMA, pada CT tidak ada amar yang memerintahkan kepada Pemohon untuk melaksanakan putusan yakni membayar beban sebelum ikrar talak diucapkan. Dalam pertimbangan hukum hakim terdapat adanya perintah pembayaran nafkah iddah dan mut’ah yang dibayarkan sebelum pengucapan ikrar talak akan tetapi kurang maksimal.Setelah adanya PERMA, bekas suami boleh membayar iddah dan mut’ah sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak. Pada praktiknya, bekas suami diperintahkan untuk membayar iddah dan mut’ah sebelum pengucapan ikrar talak putusan. Tentunya hal ini suatu terobosan yang sangat menarik untuk dikaji. Sebab belum diketemukan dalam kaidah hukum Islam dan hukum positif bahwa bekas suami diwajibkan membayar iddah dan mut’ah sebelum pengucapan ikrar talak.
Pada perkara Cerai Gugat (CG), sebelum adanya PERMA No. 3 Tahun 2017, bekas istri tidak mendapatkan hak-haknya atau nafkah, mut’ah, iddah dan nafkah madliyah. Sesudah dikeluarkannya PERMA, pada putusan gugatan perceraian Nomor 3529/Pdt.G/2017/PA.Kdr, istri juga tidak memperoleh hak-haknya tersebut.
Berdasarkan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri, Syamsurijal, menjelaskan bahwa alasan hakim tidak memberikan hak-hak istri berupa nafkah iddah dan mut’ah, karena pada putusan CG, pihak istri yang mengajukan gugatan perceraian sehingga dalam hal ini istri dianggap nusyuz sehingga tidak berhak mendapatkan hak-hak nafkah iddahnya. (Rikza: 2018)
Menurut penulis, belum tentu istri yang mengajukan gugatan perceraian bisa dianggap nusyuz (melawan perintah suami/durhaka/membangkang). Sebab berdasarkan data yang diperoleh dari Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan, faktor penyebab nomor satu istri melayangkan CG adalah faktor ekonomi. Spesifiknya, suami tidak menjalankan tanggung jawab menafkahi istri dan anaknya. Faktor kedua adalah adanya campur tangan pihak ketiga dalam rumah tangga para pihak, disusul faktor selanjutnya ketiadaan komitmen para pihak untuk menjaga kelangsungan pernikahannya.
Sesuai dengan asas penghargaan atas harkat dan martabat perempuan sebagai seorang manusia, asas keadilan dan kemanfaatan yang terkandung di dalam PERMA No. 3 Tahun 2017, seyogyanya hakim mampu melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender terkait pemenuhan hak-hak penghidupan yang layak bagi pihak istri yang mengajukan CG. Sebagaimana Pasal 6 PERMA No. 3 Tahun 2017 ini hakim diharapkan mampu menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara, non diskriminasi.
Ekspresi perempuan jika dilindungi dengan baik/Cosmopolitan
Perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017, masih dijumpai penanganan perkara dan putusan peradilan yang justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum setelah lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017 diharapkan semakin baik sebab pasal-pasal pada PERMA tersebut telah mengatur proses penanganan perkara yang berkeadilan gender.
Pentingnya tindak lanjut dari lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017 dengan sosialisasi secara lebih meluas dan komprehensif serta berkelanjutan. Agar PERMA ini lebih implementatif guna meminimalisasi penanganan perkara oleh hakim yang tidak sensitif gender. Sehingga kehadiran PERMA ini tidak sekadar lip service bagi upaya perlindungan hukum terhadap perempuan.
Ibu yang berbahagia bisa selalu bersama buah hatinya/ Muslimah.co.id |