Beberapa waktu lalu saya membaca postingan mengenai Irul Mustafa,
pria yang menjuluki dirinya Lelaki 1000 Janda. Bahkan ia memakai baju
kaos bertuliskan hashtag yang sama #Lelaki1000Janda. Setengah detik
pertama orang yang belum tahu, mendengar tentangnya, mungkin akan
berpikir negatif, wah apalagi nih. Tapi lihat dulu tagline-nya,
menafkahi tak harus menikahi.
Sumber gambar: Dream |
Lelaki kelahiran Jakarta ini
berburu janda se-Jadebotabek. Diutamakan janda berusia 50 tahun ke atas
dan hidup dalam keadaan serba kekurangan. Roel, panggilannya, membawakan
sembako dan menemani janda-janda lansia itu bercerita, bercanda
bersama. Tak harus membawa materi, mendengarkan nostalgia saat mereka
masih muda, utuh sebagai satu keluarga terkadang sudah membahagiakan
mereka. Seringkali Roel menangis mendengarkan kisah pilu tentang
kerinduan seorang janda 60-an tahun yang mendambakan kedatangan
anak-anak yang telah lama tak menengoknya.
Roel
teringat almarhumah ibunya. Apa yang dilakukannya terinspirasi dari
ibunya. Sebagai wujud kasih sayang dan kangen pada sang ibu. Melihat
nasib para janda renta ini, ia berempati betapa sedihnya jika di masa
tua dan tak berdaya, sebatang kara karena telah ditinggal meninggal sang
suami. Ditambah harus mencari nafkah sendirian. Terkadang masih
menanggung anak atau cucu yang ditelantarkan bersama dengannya.
Penghasilan para janda tua itu tak jarang Rp. 10 ribu per hari, itu pun
dengan mengandalkan sisa-sisa tenaga yang tak seberapa lagi.
Maka
dengan penghasilannya dari warung steak di kawasan Jakarta, bersama
dengan donasi teman-teman relawannya, ia berusaha menafkahi janda-janda
itu. Kurang lebih Rp. 5-10 juta ia alokasikan untuk membelikan sembako
untuk para janda. Saat ini masih 300 orang janda yang disantuninya.
Banyak yang ikut terpanggil mendukung niat mulianya. Termasuk istrinya
sendiri. Bahkan istri Roel merekomendasikan janda yang perlu dibantu.
Tak
hanya memberikan "ikan", kepada janda yang masih potensial melakukan
kegiatan ekonomi, Roel mengusahakan "kail" untuk mereka. Contohnya pada
Bu Deli. Janda ini hidup bersama anaknya terlunta-lunta tidur di lapak
pemulung. Roel mengontrakkan rumah untuk mereka. Pertimbangannya,
lingkungan pemulung yang banyak lelaki amat tidak kondusif untuk
anaknya, khawatir menjadi korban pelecehan seksual.
Bu
Deli bercerita bahwa mereka korban gempa Padang 2009. Suaminya
meninggal dan mereka berharap dapat hidup lebih baik di Jakarta. Ibu ini
pandai memasak sate. Roel membuatkan mereka gerobak dan dalam tempo
empat bulan sudah bisa punya dua gerobak. Mereka bisa hidup mandiri
bahkan sekarang menitipkan sedekah lewat Roel. Itu hanya satu cerita
janda yang berhasil diberdayakannya. Ada cerita janda pemungut keong,
pemulung dan masih banyak lagi.
Ada yang bertanya
mengapa tak mengajukan donasi ke lembaga-lembaga, lembaga zakat,
misalnya. Roel beralasan, gerakannya ini gerakan pribadi. Jika ada yang
mau menyumbang 100 atau 200 ribu pun diterimanya. Dia tak ingin repot
membuat laporan pertanggungjawaban dari institusi penyandang dana.
Ah,
Roel sungguh mulia gerakanmu. Tanpa surat tugas dari institusi manapun,
kau turun ke lapangan. Melakukan apa yang biasa kami, para akademisi
sebut dengan pengabdian masyarakat. Bagian dari Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Kau tak perlu menghitung-hitung angka kredit yang bakal
diperoleh dari kegiatan itu. Tidak perlu pula meminta para janda tua itu
menandatangani (atau cap jempol?) lembar daftar janda penerima
sembakomu.
Tak ada minimal dua mitra yang diharuskan
membuat surat pernyataan bersedia bekerjasama denganmu, mesti dilengkapi
foto-foto di lokasi dan tanda tangan di atas materai 6000 pula. Kau
melakukan semuanya tanpa proposal pengabdian masyarakat. Karena kau
yakin semua yang kau perbuat insentifnya langsung berasal dari Ar
Razzaq, Sang Maha Pemberi Rezeki. Lelaki 1000 Janda, terima kasih telah
menginspirasi, kami meraup teladan dari gerakanmu.
Salam literasi
0 comments
Pesan dimoderasi. Terima kasih telah berkomentar. "You are what you comment"